Banner

Buku di tangan kiri. Kopi di tangan kanan. Mie, roti, bakwan kawi, di tangan siapa???

 

Rabu, 23 Januari 2019

Dominasi, Kompetisi, dan Eksploitasi dalam Wacana Pendidikan Pada Film 3 Idiots Karya Rajkumar Hirani (Analisis Post-strukturalisme)

0 komentar



Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap bagaimana wacana mengenai dominasi dan kompetisi dalam pendidikan di India diproduksi dan dipertentangkan dalam sebuah film fenomenal berjudul 3 Idiots garapan Rajkumar Hirani. Film yang diadaptasi dari novel Five Point Someone karya Chettan Baghat ini unik karena berani mengusung tema yang cukup sensitif di India, yakni mengupas praktik nyata sistem pendidikan di negara tersebut. Melalui 3 Idiots, Rajkumar Hirani menegaskan kembali tentang tidak adanya demokrasi dalam pendidikan di India. Penelitian ini mengaplikasikan teori dan prosedur analisis tatanan wacana Michel Foucault berupa kondisi aplikasi yang mencakup; masyarakat wacana, doktrin, dan apropriasi sosial wacana. Inti analisis Foucault mengarah ke kontrol wacana. Hasil dalam penelitian ini menemukan bahwa ada upaya-upaya bagaimana wacana pendidikan dibentuk dan dikontrol.
Kata Kunci: Post-strukturalis, Wacana Pendidikan, Foucault. 3 Idiots.
     Pendahuluan
       Tidak banyak yang mengetahui kapan istilah pendidikan mulai dikenal manusia. Namun yang pasti, proses pendidikan telah menjadi bagian kehidupan manusia sejak masyarakat belum mengenal tulisan (jaman prasejarah, pramodern). Pada masa itu, proses pendidikan berlangsung secara alamiah, sederhana, tanpa disadari, serta dilakukan antargenerasi: dari orang tua kepada anak-anak mereka (Haralambos & Holborn, 2004). Praktik dan kritik terhadap sistem pendidikan pun telah lama menjadi bagian dari proses berkembangnya pendidikan. Praktik maupun kritik tersebut tersaji dalam berbagai media maupun karya. Tulisan ini akan menganalisis salah satu karya sastra dalam bentuk film yang dengan apik dan cerdas mengkritik sistem pendidikan di negara India. Film tersebut berjudul 3 Idiots, garapan Rajkumar Hirani.
      Film 3 Idiots merupakan film yang diadaptasi dari novel Five Point Someone karya Chetan Bhagat. Film ini pertama kali ditayangkan di India pada Desember 2009 dengan tiga tokoh sentral yaitu Rancho, Farhan dan Raju. Mereka adalah mahasiswa di Imperial College of Engineering (ICE), salah satu kampus paling bergengsi di India yang memiliki iming-iming lulusannya mampu bersaing di perusahaan ternama dunia. 3 Idiots merupakan film yang unik dan berbeda karena berani mengusung tema yang cukup sensitif di India yaitu sistem pendidikan. Meski disuguhkan dalam bentuk komedi dan drama, film bernada kritis ini seolah-olah mengupas praktik nyata sistem pendidikan di India –dan sangat mungkin terjadi juga di negara Indonesia– yakni sistem yang memicu mahasiswa hanya untuk sekedar mendapatkan nilai bagus-lulus-kerja-kaya tanpa mempedulikan potensi lain yang ada dalam dirinya.
             Melalui 3 Idiots, Rajkumar Hirani menegaskan kembali apa yang ditulis Chetan Bhagat dalam novel Five Point Someone tentang tidak adanya demokrasi dalam pendidikan di India. Tema dan pembahasan ini cukup menarik dan relevan dengan problem pendidikan di Indonesia. karena praktik dalam pendidikan di Indonesia sendiri saat ini masih mencari bentuk atau metode yang paling tepat. Sejak merdeka, sistem pendidikan di Indonesia sudah beberapa kali mengalami perubahan. Setiap pergantian pemerintahan selalu disertai dengan pergantian kebijakan pendidikan, teurtama kebijakan mengenai kurikulum dan standardisasi penilaian untuk siswa.
            Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori post-struktural serta dikaitkan dengan teori dan metode analisis wacana Michel Foucault. Post-strutural menekan­kan keseluruhan relasi antara ber­bagai unsur teks, memandang kritik sastra ha­rus berpusat pada karya sastra itu sendiri, tanpa harus memper­ha­tikan sastrawan sebagai pen­citra dan pembaca sebagai penik­mat. Postrukturalisme mengkaji makna tidak hanya terbatas pada kekuatan struktur, tetapi dapat dikaitkan dengan sesuatu yang berada di luar struktur. Jaringan-jaringan makna dalam teks juga bisa rumit yang memungkinkan pembaca berspekulasi tentang makna, karena makna tidak tunggal melainkan bersifat plural, makna tidak tetap melainkan terus berkembang. Dengan begitu, kritik sastra ti­dak tergantung dari aspek eks­ternal karya sastra tersebut. Tugas utama dari teori post-struktualis adalah memahami teks. Sebuah teks ditulis bukan untuk pembaca tertentu, melainkan kepada siapapun yang bisa membacanya, tidak terbatas pada ruang dan waktu.
               Sejak pertengahan 1970-an, lembaga-lembaga pendidikan konservatif mulai berbenah dan mengubah pola pendidikan mereka menuju praktik pendidikan kritis dengan berlandaskan pada karya filosofis Michel Foucault (Dussel, 2010). Foucault telah mengembangkan sebuah pemahaman mengenai subjek pendidikan –siswa, guru dan sebagainya– dengan menggunakan istilah subjektivitas sejarah dan investigasi genealogi yang memungkinkan para teoretikus pendidikan dapat memahami dampak pendidikan pengajaran sebagai sebuah disiplin dan praktik (Olssen, 1999; Peters and Basley, 2007). Pemikiran Foucault berupaya menjembatani penjelasan teori klasik dan modern mengenai praktik pendidikan (Olssen, 199); menyatukan masalah ideologi dengan masalah praktis pendidikan; menjelaskan masalah pendidikan dengan institusional dan individual (Marshall, 2007). Berdasarkan karyanya, Foucault dinilai telah menaruh perhatian besar pada masalah pendidikan di masyarakat dengan mengaitkan realitas sejarah untuk menjelaskan masalah perubahan praktik pendidikan di masyarakat.
            Foucault juga menjelaskan bahwa sekolah dalam masyarakat modern telah mengotak-kotakkan pengetahuan dalam beberapa kategori yang “saling terpisah”. Mereka memisahkan subjek, mata pelajaran, jurusan atau program studi, yang kemudian berdampak pada masa depan siswa (Martono, 2014). Sebelumnya sekolah dalam masyarakat modern juga telah menerapkan sistem seleksi untuk memilih dan memilah individu mana yang layak menikmati pendidikan di tempat mereka. Agar individu dapat menikmati fasilitas pendidikan di sekolah tertentu, mereka harus memenuhi serangkaian kriteria yang telah ditentukan sekolah. Singkatnya, mereka bukan belajar sesuai kehendak melainkan sesuai kelayakan. Mekanisme seleksi masuk sekolah menjadi mekanisme bekerjanya kekuasaan dalam pendidikan.
     Inti analisis Foucault mengarah ke kontrol wacana. Menurut Foucault, ada tiga prosedur dalam menganalisis tatanan wacana. Prosedur pertama, sistem eksklusi eksternal. Dalam prosedur produksi wacana ini terdapat pelarangan, pemilahan antara nalar dan kegilaan, serta gagasan mengenai yang benar dan salah. Dalam pelarangan sendiri ada tiga jenis larangan, yaitu larangan objektif, larangan kontekstual, dan larangan subjektif. Prosedur kedua adalah prosedur-prosedur internal yang mencakup komentar, pengarang, dan disiplin. Pengarang di sini mengacu pada otoritas yang menentukan kebenaran. Pengarang dapat juga berarti asal muasal wacana yang benar. Prosedur terakhir adalah kondisi aplikasi. Yang termasuk dalam kelompok prosedur ini digunakan untuk menentukan syarat penggunaan tatanan wacana, untuk memaksakan sejumlah aturan pada individu-individu yang memegangnya, dengan demikian mampu mengizinkan setiap orang untuk mempunyai akses pada wacana tersebut (Faruk, 2012: 247).
          Bisa disimpulkan bahwa dalam kondisi aplikasi inilah wacana dikontrol karena tidak semua wilayah wacana sama terbuka dan dapat dimasuki. Di lain pihak, sebagian besar wilayah itu terlarang, sedangkan yang lainnya terbuka untuk hampir semua orang, mengabaikan siapa subjek yang berbicara, tanpa pembatasan lebih dahulu (Faruk, 2012: 248).  Misalnya Wacana Pendidikan di Indonesia, anak masuk SD dengan batas minimal umur 6-7 tahun, ada sistem UAN serta standar minimal dan maksimal nilai yang secara otomatis standar tersebut akan menyingkirkan siswa yang tak mampu secara akademik, puncaknya adalah, ada lembaga yang memproduksi serta mengontrol berbagai wacana tersebut, seperti misalnya Kemendikbud, sekolah-sekolah ataupun universias-universitas. 
   Dalam penelitian ini bentuk-bentuk pembatasan dalam kondisi aplikasi meliputi; masyarakat wacana, doktrin, dan apropriasi sosial wacana. Masyarakat wacana berfungsi untuk menghasilkan wacana, tapi sekaligus untuk membuatnya beredar hanya dalam sebuah ruang yang tertutup. Doktrin cenderung untuk disebarkan dan hanya berpegang pada wacana yang sama. Sedangkan apropriasi sosial wacana merupakan penyisihan sosial terhadap wacana, bersama-sama dengan pengetahuan dan kuasa-kuasa yang dibawanya, dimodifikasi dan dipertahankan dengan cara politis oleh setiap sistem pendidikan.

Wacana pendidikan dalam 3 Idiots
            Bahasa adalah bagian wacana (Garrity, 2010) yang  merefleksikan  perbedaan bentuk  budaya,  kebiasaan,  adat,  dan  pengetahuan.  Selanjutnya, wacana digunakan untuk melegitimasi kekuasaan tertentu. Wacana menyediakan kondisi materiil ketika individu diproduksi –baik sebagai subjek atau sebagai objek–. Ini merupakan bentuk kekuasaan yang dilaksanakan melalui wacana hukum, kedokteran, psikologi dan pendidikan (Codd, 1988). Wacana dipengaruhi pengetahuan dan kekuasaan secara bersama-sama. Kekuasaan  menentukan pengetahuan  apa  saja  yang  dianggap  sebagai  sebuah  kebenaran,  kenormalan,  sehingga  ia  dapat menjadi  wacana  umum. Wacana  membantu  menjelaskan mekanisme  distribusi  kekuasaan,  sehingga dapat menjadi  alat  menyebarkan dan  mewujudkan  kekuasaan (Martono, 2014).
      Akmal Jaya juga menjelaskan dalam tulisannya bahwa wacana tidak dibiarkan begitu saja, tetapi ada yang berperan mengendalikan atau bahkan menguasainya. Sehingga, wacana sering diasosiasikan dengan kekuasaan. Wacana memiliki kekuatan untuk mengopresi dan melawan. Praktik untuk melanggengkan sebuah wacana yaitu dengan regularitas. Regularitas yang dimaksud di sini berupa larangan. Seperti yang pernah Foucault sebutkan yaitu dalam prosedur produksi wacana adalah dengan eksklusi berupa larangan, yang meliputi tiga macam eksklusi eksternal yaitu: larangan objektif, larangan subjektif, dan larangan kontekstual (Faruk, 2012: 242).
     Dalam film 3 Idiots, sistem pendidikan menjadi suatu wacana yang dikontrol dengan doktrin dan kekuasaan serta dapat mempengaruhi banyak orang, lebih khususnya mempengarhi pelajar dan orangtua pelajar. Mengambil setting di salah satu universitas teknik ternama di India, Rajkumar Hiran menggambarkan sekaligus mengkritik pedas bagaimana sekolah-sekolah dan universitas di India menjadikan dominasi dan kompetasi bagian dari proses belajar. 3 Idiots merupakan salah satu karya yang menjelaskan tentang matinya demokrasi dalam pendidikan di India serta bagaimana wacana pendidikan menghegemoni pelajar.
Masyarakat Wacana
      Sudah menjadi pemahaman umum bahwa nilai education hanya sekedar nilai, gelar dan hasil. Seperti mayoritas masyarakat yang menganggap bahwa ‘sukses’ layak disematkan bagi pelajar dengan nilai tinggi, mampu mengalahkan rekan yang juga dalam hal ini bisa dikatakan saingan, puncaknya mampu diterima kerja di perusahaan ternama dengan nilai terbaiknya selama menempuh pendidikan. Atau pemahaman bahwa education hanya sekedar nilai, gelar dan hasil. Di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia sendiri, muncul anggapan bahwa untuk menjadi sukses, seseorang harus selalu mendapat nilai bagus dan menjadi yang terbaik di sekolah. Dengan demikian, pekerjaan akan mudah didapat dan kekayaan akan ada digenggaman. Dalam masyarakat wacana, ada wacana tertentu yang dihasilkan dan beredar secara tertutup di kalangan orangtua yang memiliki anak seorang pelajar atau mahasiswa. Pada kenyataannya, sebagian yang lain akan sadar bahwa wacana dan presepsi tentang ‘sukses’ itu kurang tepat, dan hal itulah yang ingin disampaikan oleh film 3 Idiots. Ketiga tokoh dalam film yang tercatat sebagai mahasiswa di Imperial College of Engineering (ICE) sedikit banyak menyindir salah satu universitas ternama di India yakni IIT (Indian Institutes of Technology) yang 25% lulusannya bekerja di Amerika, terutama di perusahaan IT terkemuka di dunia dan sisanya tersebar di belahan dunia lain, termasuk di India sendiri.
Berikut salah satu kutipan dalam film menggambarkan seorang ayah yang berambisi anaknya menjadi insinyur karena masyarakat setempat sangat memempercayai bahka kehidupan insinyur menjadi jaminan kebahagian dan kesuksesan dalam keluarga.
“Jika tidak menjadi insinyur, apa yang akan kau dapatkan di dalam hutan, (saat kau menjadi fotografer alam liar)? Dan saat kau melihat teman-temanmu sudah bisa membeli mobil dan rumah, saat itulah kau akan mengutuk dirimu sendiri.” (3 Idiots; 2009).

  Doktrin
           Pada doktrin, cenderung untuk disebarkan dan hanya berpegang pada wacana yang sama. Film 3 Idiots mengacu pada nilai, norma, sistem pendidikan dan sosial masyarakat India. Dalam film ini, salah satu universitas ternama (ICE) dijalankan dengan sangat ortodoks oleh Rektor. Berbagai doktrin pendidikan pun lahir di kampus tersebut, misalnya doktrin “kompetisi dan bersaing” ditanamkan sedemikian rupa sehingga mahasiswa hanya mengejar nilai dan gelar. Sistem pendidikan hanya menguntungkan mereka yang benar-benar kompetitif dan pintar, lalu melumat habis mereka yang sebenarnya cerdas, tapi tidak ditangani dengan sistem yang baik. Di sisi lain, sistem yang hanya mementingkan kompetisi akan membuat mahasiswa tidak pernah berpikir kreatif, karena takut bahwa hasil karyanya tidak sesuai dengan yang diinginkan dosen, institusi atau sistem itu sendiri.
             Doktrin selanjutnya yang menjadi bagian dalam sistem pendidikan adalah belajar taklid pada isi buku dengan cara menghafal. Ketika seorang pengajar melontarkan sebuah pertanyaan kepada murid atau mahasiswa misalnya tentang definisi sebuah istilah, murid dan mahasiswa hanya akan kalut berlomba mencari jawaban paling benar dan paling cepat. Ibarat singa sirkus yang bisa duduk di kursi, hanya karena takut dicambuk oleh pelatihnya, namun sebenarnya kita hanya bisa menyebutnya singa tersebut terlatih, bukan terdidik. Apa manfaat metode seperti ini, sekali pun siswa yang bisa menjawab cepat dan tepat, tak ada pengetahuan baru yang meningkat, yang ada hanya tekanan. Belajar dengan sistem hafalan ibarat burung Beo yang hanya bisa menirukan persis ucapan orang tapi sama sekali tak paham apa yang diucapkan. Sayangnya nyaris semua pendidikan di sekolah maupun universitas begitu adanya.
           Berikut merupakan beberapa hal terkait doktrin dan praktik-praktik sistem pendidikan yang digambarkan dalam film 3 Idiots karya Rajkumar Hirani;
a.      Dominasi
            Kekuasaan merupakan unsur dalam pendidikan yang eksistensinya dapat bersifat nyata maupun tidak nyata, dapat disadari maupun tidak disadari. Kekuasaan mewujudkan tujuannya dengan berbagai cara. Bordieou menyebutkan bahwa kelas dominan menggunakan sekolah sebagai tempat melanggengkan kekuasaan dan mempertahankan posisinya atau mendominasi tatanan kekuasaannya. Dalam praktiknya, guru atau dosen juga dapat diposisikan sebagai  unsur  kekuasaan  yang berhubungan  secara  langsung  dengan  siswa  karena mereka lah  yang  memberikan  penilaian  secara langsung di sekolah maupun universitas. Kekuasaan yang membentuk wacana dalam pendidikan memiliki efek yang luas dan hebat, tak hanya bagi pelajar tapi juga bagi orangtua yang membebani anak-anak mereka dengan ketakutan, tekanan dan desakan dalam pendidikan
             Dalam film 3 Idiots, kampus ICE terdapat sosok diktator yang mengatur semua sistem dalam kampus. Viru Sahastrabuddhe (para mahasiswa biasa menjulikinya Virus), adalah seorang rektor yang menjalankan kampus bak perusahaan atau industri pendidikan. Di kampus, mereka tidak membicarakan penemuan atau gagasan baru, mereka hanya berbicara peringkat, peluang kerja, atau paling banter diterima kerja di Amerika Serikat. Mereka hanya tertarik dengan bagaimana cara memperoleh nilai yang sempurna. Para pengajar tak pernah mendidik mahasiswa untuk menjadi insinyur handal.
b.      Kompetisi
      Kekuasaan menetapkan sejumlah standarisasi penilaian di sekolah yang digunakan sebagai alat untuk mengklasifikasikan siswa dalam berbagai kategori menurut tingkat kecerdasannya (Liasidou, 2010).  Foucault tidak eksplisit menyebutkan siapa  pihak  yang  berkuasa  dan siapa yang dikuasai.  Pada intinya Foucault menyatakan bahwa siapapun dapat memiliki  kekuasaan  karena kekuasaan bersifat “dapat dipindahkan”. Kekuasaan juga dapat muncul dalam mekanisme pengawasan terhadap individu di sekolah secara langsung maupun  tersembunyi.  Standarisasi  dalam  pendidikan  juga  merupakan  wujud kekuasaan  yang  mampu  membedakan  setiap  individu  dalam  beberapa  kategori. Standarisasi  ini dikolaborasikan  dengan  sistem  penilaian,  sehingga  sekolah  mampu  membedakan  siswa  dalam kategori pintar-bodoh, jenius-idiot dan pengategorian lainnya. Lalu menjadikan kompetesi, bagian dari proses pendidikan.  
          Film 3 Idiots garapan Rajkumar Hirani merupakan salah satu karya yang melihat kekuasaan dijalankan dengan tujuan untuk mengawetkan wacana kompetatif dalam pendidikan. Melalui Prof. Viru yang merepresentasikan kekuasaan selalu memberi wejangan kepada mahasiswa baru di tahun pertama mereka tentang pentingnya kompetisi dalam pendidikan.

“Burung Koel tidak pernah membuat sarangnya sendiri. Mereka menaruh telur-telurnya di sarang burung lain, dan saat anak mereka menetas, apa yang dilakukannya pertama kali? Ia menendang telur-telur lain keluar dari sarang. Kompetesi berakhir! Hidup dimulai dengan ‘membunuh’. Itulah alam, bersaing atau mati. Kalian semua bagaikan burung Koel dan mereka semua (Viru membuang tumpukan kertas pelamar-pelamar universitas tersebut yang gagal saat mendaftar) adalah telur-telur yang kalian singkirkan untuk diterima di ICE.”  (3 Idiots; 2009).

          Pada kenyataannya, sistem yang hanya mementingkan kompetisi akan membuat mahasiswa tidak pernah berpikir kreatif. Hal ini terjadi karena mereka takut hasil karyanya tidak sesuai dengan yang diinginkan dosen atau institusi.
c.       Eksploitasi
Selain itu, standar prestasi juga menjadi wacana lain dalam pendidikan India. Standar norma di sekolah diwujudkan dalam “standar prestasi”. Menurut Martono, kemampuan, kecerdasan, atau prestasi siswa akan- distandardisasi, yang kemudian standardisasi ini menjadi bahan  perbandingan prestasi  antarsiswa. Satu lagi wacana pendidikan di India dan masih berlaku juga di negara-negara lain –yang entah tujuannya apa– sehingga mengeksploitasi nilai dan kelulusan mahasiswanya di papan pengumuman menjadi hal yang wajar. Kutipan dalam film berikut, cukup menyentil.
“Semestinya hasil ujian bukanlah sebuah pengumuman. Mengapa kita memperlihatkan kelemahan orang di muka umum? Jika hemoglobin di darah kita ternyata rendah, apa yang dilakukan dokter, memberimu obat atau mengumumkannya di TV?” (3 Idiots, 2009).

Selain doktrin kompetisi, dengan kekuasaan dan statusnya sebagai yang tertinggi dalam tatanan universitas tersebut, Viru juga mendoktrin mahasiswanya untuk selalu menjadi yang pertama.
“Neil Armstrong adalah orang pertama yang menginjakkan kaki di bulan. Tapi siapakah yang kedua? Jangan sia-siakan waktumu untuk mencari tahu jawabannya, karena itu tidak penting! Tak akan ada orang yang mencoba mengingat ‘Orang Kedua’!” (3 Idiots; 2009).

Apropiasi Sosial Wacana
  Apropriasi sosial wacana mengacu pada setiap sistem pendidikan yang menyisihkan wacana secara sosial, bersama-sama dengan pengetahuan dan kuasa-kuasa yang dibawanya, dimodifikasi, dan dipertahankan dengan cara politis. Di India maupun di Indonesia sendiri sistem pendidikan memiliki banyak lapisan yang ke semuanya merupakan apropriasi sosial wacana. Menurut Foucault (1975), sebagaimana yang dikutip oleh Martono (2014: 86) Foucault mendefinisikan pendisiplinan sebagai sebuah mekanisme pembentukan perilaku individu yang taat dan patuh pada serangkaian norma melalui sistem kontrol atau pengawasan terhadap individu.
   Dengan kata lain, pendisiplinan merupakan suatu bentuk mekanisme kekuasaan pada masyarakat modern untuk membentuk individu yang terampil dan berguna. Dalam mendefinisikan tentang disiplin, perlu dibedakan antara kedisiplinan dan norma yang mengatur masyarakat. Jika norma dibentuk sesuai kesepakatan masyarakat untuk memperbandingkan antara satu individu dengan individu lainnya, maka disiplin berfungsi untuk mengendalikan dan mengatur individu agar bertindak sesuai dengan norma pada masyarakat.
Agar norma dan disiplin dapat berfungsi dalam kehidupan masyarakat, Foucault merumuskan tiga bentuk mekanisme pendisiplinan pada masyarakat yang meliputi: pengawasan secara hierarkis, standardisasi nilai, dan sistem ujian atau evaluasi. Ketiga bentuk mekanisme pendisiplinan ini yang juga diterapkan pada sekolah. Foucault mendefinisikan mekanisme pendisiplinan di sekolah sebagai seperangkat wacana, norma, dan rutinitas yang membentuk cara ketika bidang-bidang yang terkait dalam sekolah (maupun universitas) menjadi mekanisme yang mengatur sistem kerja diri mereka sendiri (Martono, 2014: 107). Bentuk pengawasan secara hierarkis terlihat dari bentuk bangunan sekolah yang dibuat seperti penjara dengan menempatkan lapangan di tengah bangunan sekolah. Bentuk bangunan sekolah inilah yang dikenal sebagai istilah panopticon[1]. Hal ini bertujuan untuk mempermudah pengawasan siswa selama mengikuti proses pembelajaran di sekolah.
     Selain itu, struktur organisasi sekolah yang disusun secara hierarkis menunjukkan adanya bentuk pengawasan dalam mekanisme pendisiplinan di sekolah. Mekanisme standardisasi nilai di sekolah diwujudkan dalam seperangkat tata tertib yang dibuat sekolah. Sementara itu, sistem ujian di sekolah dapat merepresentasikan praktik pengawasan sekaligus juga sebagai standar nilai bagi siswa selama bersekolah. Siswa dihadapkan pada situasi ujian yang menegangkan. Pengawasan dilakukan selama proses ujian berlangsung untuk menciptakan suasana disiplin di kelas. Siswa yang berhasil dalam ujian akan mendapatkan ganjaran yang sudah ditetapkan sebelumnya. Sebaliknya, siswa yang gagal dalam ujian akan mendapatkan hukuman yang sesuai dengan tingkat kegagalan tersebut.
      Dalam film 3 Idiots digambarkan pula bagaimana mahasiswa-mahasiswa semester akhir yang telah melaksanakan wawancara kerja di berbagai perusahaan, masih sangat  tergantung dengan nilai dan hasil kelulusan universitas. Pasalnya, mahasiswa yang sudah diterima di sebuah perusahaan dengan posisi terbaik sekalipun tidak akan bisa melanjutkan kehidupan dan karirnya sebelum dinyatakan lulus di tahap akhir ujian.  Jika ada pihak dominan yang menggunakan kesempatan tersebut untuk memainkan peran kuasanya, maka akan banyak pelajar yang menjadi korban dari tatanan pendidikan seperti ini. Seperti dalam cuplikan film berikut.
Viru berkata pada salah satu mahasiswa yang sebelumnya telah berkali-kali membuat ulah dan masalah dengan dirinya… “Pekerjaan itu tak akan menjadi milikmu, sampai kau melewati ujian akhir. Dan sekarang aku sendiri yang akan menyiapkan (soal) ujianmu.” (3 Idiots; 2009)
 
Kesimpulan
     Pendidikan, sejak lama telah menjadi bagian kehidupan masyarakat. Praktik dan kritik terhadap sistem pendidikan pun telah lama menjadi bagian dari proses berkembangnya pendidikan. Praktik maupun kritik tersebut tersaji dalam berbagai media maupun karya, salah satunya pada film India berjudul 3 Idiots karya Rajkumar Hirani yang mengangkat tema tengang matinya demokrasi dalam sistem pendidikan. Hirani menegaskan kembali tentang tidak adanya demokrasi dalam pendidikan di India, yang sbenarnya juga relevan dengan keadaan pendidikan di beberapa negara termasuk Indonesia. Penelitian ini mengaplikasikan teori dan prosedur analisis tatanan wacana Foucault yang berupa kondisi aplikasi, yang mencakup; masyarakat wacana, doktrin, dan apropriasi sosial wacana. Inti analisis Foucault mengarah ke kontrol wacana.
     Hasil penelitian ini menemukan bahwa ada upaya-upaya bagaimana wacana pendidikan dibentuk dan dikontrol. Beberapa hal terkait doktrin dan praktik-praktik sistem pendidikan yang dapat diungkapkan melalui bentuk-bentuk pembatasannya yang berupa masyarakat wacana, doktrin, dan apropriasi sosial wacanad. Doktrin yang digambarkan dalam film adalah; dominasi, kompetisi dan eksploitasi.

Daftar Pustaka



 Faruk. 2012. Metode Penelitian Sastra: Sebuah Penjelajahan Awal. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Hirani, Rajkumar. 3 Idiots. 2009. India: Vinod Chopra Production.  
                                   
Jaya, Akmal. 2016. Produksi, Distribusi, dan Kontestasi Wacana Tradisi dan Modernitas dalam Cerpen Leteh Karya Oki Rusmini. Jurnal Poetika Vol. IV No. 2, p.107-118.

Kutha Ratna, Nyoman. 2012. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra dari Strukturalisme hingga Postrukturalisme; Perspektif Wacana Naratif. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.

Martono Nanang, 2014. Sosiologi Pendidikan Michel Foucault: Pengetahuan, Kekuasaan, Disiplin, Hukuman dan Seksualitas. Rajawali Press; Jakarta.

Martono Nanang, 2014. Dominasi Kekuasaan Dalam Pendidikan: Tesis Bourdieu dan Foucault tentang Pendidikan. Jurnal Interaksi. Vol.8 (1), p.28-39.

Muslim Nuzul. 2014. Representasi Makna Persahabatan Dalam Film 3 Idiots (Analisis Semiotika Roland Barthes Mengenai Representasi Makna Persahabatan dalam Film 3 Idiots). Skripsi. Program Studi Ilmu Komunikasi Konsentrasi Humas. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Komputer Indonesia.

Pustaka Laman
Wikipedia. 2018. 3 Idiots. https://id.wikipedia.org/wiki/Three_Idiots. Diakses pada 14 Desember 2018 pukul 15.50.






[1] Pada awalnya panopticon adalah konsep bangunan penjara yang dirancang oleh filsuf Inggris dan teoritisi sosial Jeremy Bentham pada 1785. Konsep tersebut memungkinkan seorang pengawas untuk mengawasi (-option) semua (pan-) tahanan, tanpa dietahui / disadari oleh tahanan tersebut. Desain panopticon disebut oleh Michael Foucault dalam bukunya Discipline and Punish: The Birth of the Prison (1977).

Read more...

Minggu, 20 Januari 2019

REVIEW JURNAL POST-STRUKTURALISME

0 komentar





Judul
PEMAKNAAN DAN TRANSMISI MANTRA TRI SANDHYA PADA REMAJA HINDU BALI DI DAERAH MALANG
Jurnal
Poetika: Jurnal Ilmu Sastra
Link
Volume dan Halaman     
Vol.V/ No.1, Hal. 44-54
Tahun
Juli 2018
Penulis
Khairul Candra, Luh Putu Ema Noviyanti, Kiki Nurlaily
Reviewer
FADLUN SUWELEH (18/434514/PSA/08491)
Tanggal
16 Desember 2018


Abstrak
Tulisan ini mengulas mengenai makna dan transmisi mantra Tri Sandhya. Mantra Tri Sandhya merupakan salah satu bentuk sastra lisan yang ada di Bali. Mantra Tri Sandhya merupakan mantra yang dimiliki oleh umat Hindu Bali yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Pada saat ini, mantra Tri Sandya mulai dilupakan dan jarang digunakan oleh remaja Hindu Bali. Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini dilakukan untuk (1) mengetahui makna mantra Tri Sandhya: (2) transmisi mantra Tri Sandhya pada remaja Hindu Bali yang tinggal di Malang. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Metode yang digunakan dalam penelitian ini untuk memperoleh data dalam bentuk kalimat bukan angka-angka. Sumber data dari penelitian ini adalah Mantra Tri Sandhya. Penelitian ini menggunakan pendekatan Semiotika dengan teori Riffaterre. Semiotika digunakan untuk mengkaji tanda-tanda yang ada dalam mantra Tri Sandhya sehingga pembaca dapat memahami makna dari mantra Tri Sandhya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa makna mantra Tri Sandhya dan transmisi mantra Tri Sandhya pada remaja Hindu Bali di wilayah Malang saat ini.
Pembahasan
Pada bagian pembahasan, penulis membagi sub pokok bahasan menjadi dua bagian, yaitu :
-  Makna mantra Tri Sandhya serta pemahaman makna mantra Tri Sandhya menurut pembaca
   -  Transmisi Mantra Tri Sandhya pada remaja Hindu Bali di daerah Malang 
Dalam pembahasan tersebut, penulis menjelaskan dengan cukup rinci arti dan makna mantra Tri Sandhya, serta bagaimana penelitian tersebut dilaksankan dengan menggunakan metode dan teknik yang telah ditentukan. 
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
    a. Mengetahui makna mantra Tri Sandhya
    b. Transmisi mantra Tri Sandhya pada remaja Hindu Bali yang tinggal di Malang
Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah remaja Hindu Bali yang berada di daerah Malang.

Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif-kualitatif. Dengan teknik pengumpulan data menggunakan rekman serta wawancara. Kemudian teknik analisis data dalam menggunakan teknik transliterasi (penerjemahan bahasa mantra ke bahasa Indonesia), dilanjut dengan memilah-milah data sesuai dengan kelompoknya, kemudian dianalisis dan ditarik kesimpulan.
Hasil Penelitian
Hasil penelitian dalam paper tersebut menunjukkan bahwa makna mantra Tri Sandhya dan transmisi mantra Tri Sandhya pada remaja Hindu Bali di wilayah Malang saat ini.

Simpulan

Melalui pendekatan semiotik dalam mengkaji mantra tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa banyak mantra sembahyang yang dipakai oleh umat Hindu Bali untuk memuja Tuhannya. Mantra Tri Sandhya adalah ibu dari semua mantra tersebut serta mantra Tri Sandhya selalu digunakan dalam setiap upacara ritual yang dilaksanakan umat Hindu di Bali. Tujuan dari pembacaan mantra ini adalah agar permohonan ampunan seorang hamba dikabulkan oleh Tuhannya. Setiap umat Hindu di Bali diwajibkan untuk mengetahui mantra ini. Transmisi mantra Tri Sandhya mulai mengalami pergeseran pada saat ini. Hal tersebut dikarenakan beberapa faktor. Menurut beberapa pernyataan remaja Hindu Bali, faktor tersebut disebabkan karena kurangnya pengetahuan mengenai makna mantra, kurangnya pemahaman pentingnya manfaat dari mantra tersebut, kurangnya kesadaran dari tiap individu untuk mengamalkan mantra dan faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi pola hidup mereka.

Kekuatan Penelitian       
   1.   Penelitian mengenai makna dan transmisi mantra Tri Sandhya belum pernah dilakukan sebelumnya. Sehingga penelitian ini penting untuk dilakukan sebagai upaya mempertahankan adat dan kepercayaan Hindu Bali, yang juga merupakan salah satu kekayaan kultural milik Indonesia.
    2.  Bahasa dan penjelasan penulis mudah ditangkap dan dipahami oleh pembaca non-Hindu Bali sekalipun. Pun dengan penjelasan dan transliterasi mantra dalam penelitian.
    3.    Metode, teori dan teknik yang digunakan dalam penelitian cukup rinci dan tepat.
Kelemahan Penelitian
     1.      Metode penelitian berupa wawancara yang dilakukan oleh peneliti dianggap kurang bisa mewakili untuk menarik sebuah kesimpulan, karena dalam penelitian wawancara hanya dilakukan kepada tiga remaja Hindu Bali di Malang.
    2.      Penulis kurang lengkap dan detil dalam menjelaskan hasil yang didapat dalam penelitian.




Read more...

Urgensi Fathering (Peran Ayah) dalam Pengasuhan Anak

Secara umum tumbuh kembang anak yang maksimal akan terjadi jika pengasuhan yang benar berada langsung di tangan orangtua. Ayah dan ib...