Secara
umum tumbuh kembang anak yang maksimal akan terjadi
jika pengasuhan yang benar berada langsung di tangan orangtua. Ayah dan ibu
bersama-sama mengambil peranan yang sejajar memberikan pengasuhan yang tepat
kepada anak. Dewasa ini, keterlibatan seorang ayah dalam mendidik dan mengasuh
anak mulai menjadi perhatian khusus di berbagai disiplin ilmu. Banyak
penelitian yang telah membuktikan bahwa seorang ayah memiliki peran
dalam kesuksesan anak-anaknya. Peran ayah dapat mempengaruhi kehidupan
sosial, prestasi di sekolah, serta pencapaian cita-cita anak-anaknya. Istilah fathering sendiri merujuk pada peran ayah dalam parenting (proses pembelajaran/pengasuhan/interaksi antara orang tua dan anak).
Ada satu kisah yang menarik untuk ditelisik di sebuah postingan media sosial beberapa waktu lalu. Dalam pertemuan sekolah yang dihadiri oleh guru, siswa, dan orang tua murid di sebuah aula sekolah, seorang anak mendapat juara pertama dan meraih banyak prestasi. Seluruh guru pun sepakat meminta ayahnya untuk
berbagi cara dan tips bagaimana ia mendidik si anak sehingga menjadi murid
berprestasi. Tak terbiasa berbicara di depan banyak orang, sang ayah hanya berbicara lirih dan singkat di podium; “Saya cuma kuli bangunan yang buta huruf. Saya tidak tahu cara mendidik.
Yang saya lakukan hanyalah duduk di sebelah anak saya setiap kali ia belajar di
malam hari.”
Kisah menyentuh tersebut cukup memberi kesan dan pelajaran bagi para ayah dalam mengasuh, mendampingi, dan mendidik anak. Bahkan secara tak langsung kisah tersebut juga dapat menguatkan teori psikolog kontemporer Daniel Goleman, yang menjelaskan banyak hal terkait IQ (Intelligence Quotient) dan EQ (Emotional Quotient) seseorang. Menurut Goleman, dalam kehidupan sosial seseorang lebih membutuhkan EQ atau kecerdasan emosinya dibandingkan dengan IQ atau tingkat intelektualnya. Goleman juga menegaskan bahwa bukan IQ yang menjadi penentu kesuksesan seseorang, melainkan EQ.
Pada kisah di atas, sang ayah adalah seorang kuli bangunan buta huruf yang bisa dikatakan tingkat IQ beliau tak setinggi ayah-ayah lain yang (mungkin) memiliki status pendidikan atau pekerjaan lebih baik. Namun di sisi lain dapat juga disimpulkan bahwa, kemampuan emosional beliau lebih tinggi dari kemampuan intelektualnya. Kesediaan beliau meluangkan waktu setiap malam untuk menemani buah hatinya belajar, menjadi bukti kecakapan emosionalnya. Beliau sama sekali tak mengajari anaknya membaca, menulis atau berhitung, yang dilakukan hanyalah duduk-diam-menemani. Namun ternyata hal tersebut memiliki efek psikologis yang luar biasa pada anak, membuat anak merasa nyaman, diperhatikan, bernilai, sehingga mampu memicu dan menumbuhkan semangat pada si anak untuk berprestasi. Di sinilah hubungan antara perkembangan kecerdasan moral anak dengan peran keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak terbentuk.
Menurut Naomi
Soetikno, seorang psikolog dan staf pengajar salah satu universitas di Jakarta,
ada empat unsur peran ayah dalam mengasuh anak, yaitu; structure,
warm, accessibility dan playing. Lebih rinci, Naomi
menjelaskan bahwa rumah tangga akan lemah arahnya jika tidak memiliki struktur kepala
keluarga yang tegas menetapkan aturan bagi anak-anaknya, namun demikian juga perlu
diimbangi dengan ayah yang hangat (warm) kepada anak-anak, dimana
seorang ayah dapat menjadi tempat buah hati mencurahkan isi hatinya. Lalu, seorang ayah harus mudah diakses (accessibility) oleh anak di
sela-sela pekerjaannya, hal ini membuat sang anak akan selalu merasa aman dan
terlindungi. Selanjutnya ayah harus termotivasi untuk bermain (playing)
bersama anak-anaknya, karena kegiatan mengasyikkan tersebut juga memiliki
banyak pengaruh positif bagi perkembangan buah hati.
Seorang ayah mempunyai karakteristik perilaku pengasuhan khas yang berbeda dengan ibu. Peran dan keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak usia dini memberikan dampak di berbagai aspek perkembangan anak, baik aspek fisik motorik, aspek emosional, aspek kognitif dan aspek sosial. Sebaliknya, ketiadaan peran ayah, baik secara fisik maupun psikologis, tentu akan berdampak negatif pada perkembangan anak.
Ada sederet manfaat dari kedekatan ayah dan anak yang di jelaskan dalam psikologi parenting, diantaranya; mampu meminimalisir
perilaku menyimpang pada anak, memperluas lingkungan sosial, memiliki kemampuan kognitif yang tinggi, anak menunjukkan kemampuan pemecahan masalah yang optimal, berkembangnya
kompetensi sosial-emosional, anak lebih mencari kedekatan atau kepedulian
pada orangtuanya, memiliki kesehatan mental yang baik di saat dewasa, minimnya
permasalahan/kenakalan pada masa remaja,
dan masih banyak lagi manfaat positif lainnya.
Di Indonesia, keterlibatan ayah dengan anak sudah mulai diterapkan. Salah satu upaya yang mendukung proses fathering adalah, pemerintah saat ini sedang menggalakkan
program ayah boleh mengambil cuti apabila istri sedang hamil dan akan
melahirkan. Hal tersebut diharapkan bisa menjadi gerbang awal
keterlibatan ayah dalam keluarga, terutama bab mengasuh dan mendampingi anak.
Nah, interaksi apa saja yang sudah ayah lakukan pada buah hati?
Nah, interaksi apa saja yang sudah ayah lakukan pada buah hati?
Daftar Pustaka
Goleman Daniel. 1996. Kecerdasan
Emosional. Jakarta; Gramedia Pustaka Utama
Harmaini, Shofiah Viviek, Yulianti
Alma. 2014. Peran Ayah Dalam Mendidik Anak. Jurnal Psikologi Vol.10 No. II p. 80-84
Septiani Dinda, Nasution Itto Nesyia.
2017. Peran Keterlibatan Ayah dalam Pengasuhan Bagi Perkembangan Kecerdasan
Moral Anak. Jurnal Psikologi Vol. 13 No.II p. 120-125
1 komentar:
artikel yang cocok buat para ayah.
soalnya dijaman skrng para ayah cuma sibuk dengan hp.
pulang kerja main hp pulang kerja main hp..
kebutuhan materi si anak terpenuhi tapi emosionalnya ya biasalahhh.mirisss
Posting Komentar