Abstrak
Menurut Homi K Bhaba, kritik poskolonial mengetengahkan
ketidaksamaan dan keganjilan representasi budaya dalam otoritas sosial dan
politik. Dalam pandangan Bhaba, ia juga mempertanyakan asumsi para analis
kolonialis yang melihat identitas penjajah dan terjajah cenderung kaku, mutlak
dan terlalu sederhana. Beberapa
konsep teori pascakolonial Bhaba antara lain mimikri, hibriditas, ambivalensi,
dsb. Adapun fokus dan tujuan masalah
dalam analisis ini adalah untuk mengetahui hibriditas pada tokoh
utama Abraham de Withart dalam cerpen Nieke de Flinder karya Iksaka Banu.
Hasil dalam analisis ini menunjukkan
bahwa terdapat beberapa kutipan yang memungkinkan untuk mewakili bentuk hibriditas
Abraham de Withart. Hibriditas merupakan
persilangan budaya atau sebagai cara untuk mengacu pada interaksi antara
bentuk-bentuk perbedaan budaya yang dapat menghasilkan pembentukan budaya dan
identitas baru. Istilah lain yang relevan dengan konsep Bhaba adalah keterbelahan. Sebagai seorang Jurnalis,
keterbelahan Abraham antara memilih membungkam berita hangat terkait skandal
petinggi pemerintah kolonial di Batavia, atau justru menyerahkan berita
tersebut pada kantor Surat Kabar lain yang lebih pro-Pribumi meski itu berarti
ia harus melepas jabatannya yang cukup tinggi di tempat kerjanya saat itu,
kemungkinan adalah salah satu bentuk hibriditas Abraham de Withart. Selain itu,
Abraham juga menunjukkan bahwa identitas bukanlah sesuatu yang
mutlak, melainkan selalu dalam posisi tarik ulur
yang senantiasa direkonstruksi terus-menerus. Identitas dirinya pun tidak
pernah mapan, seperti halnya dengan profesi yang ia geluti.
Kata Kunci:
Poskolonial,
Nieke de Flinder, Hibriditas, Homi K Bhaba
Pendahuluan
Kritik poskolonial adalah suatu jaringan sastra atas rekam jejak
kolonialisme. Jika ditelusuri dengan cermat, sangat banyak karya sastra
Indonesia modern yang merekam jejak kolonialisme, salah satunya Nieke de Flinder karya Iksaka Banu. Beberapa cerpen
Iksaka Banu lainnya yang terkumpul dalam buku Semua Untuk Hindia pun sangat kental dengan kenyataan sejarah bahwa
Indonesia pernah menjadi bagian dari kolonialisme atau bangsa yang terjajah
hingga ratusan tahun. Dari banyaknya karya sastra yang merekam jejak
penjajahan, cerpen Nieke de Flinder ini sangat tepat
dipilih sebagai objek material analisis poskolonial dengan fokus pada teori
hibriditas yang dikemukakan oleh Homi K Bhaba.
Bhaba menggambarkan teori dan
kritiknya tentang permasalahan interaksi budaya, muncul hanya pada simbol batas
budaya dimana arti dan nilai dibaca atau disalahartikan. Budaya, menurut Bhaba,
muncul sebagai problem pada poin dimana di sana ada kehilangan makna dalam
persaingan dan artikulasi kehidupan sehari-hari berbagai kelas, gender, ras,
dan negara. Selanjutnya, Bhaba memaparkankan bahwa perbedaan budaya fokus pada
persoalan ambivalensi kekuasaan budaya, penempatan dominasi atas nama supremasi
budaya merupakan produksi momen diferensiasi sekaligus sebagai referensi
pengetahuan kebenaran dalam persoalan pada konsep dan momen enunsiasi. Lewat
konsep liminitas, Bhaba memaparkan bahwa enunsiasi menciptakan suatu “ruang
antara” yang memungkinkan perubahan budaya dapat berlangsung, yaitu ruang antar-budaya
di mana strategi-strategi kedirian personal maupun komunal dapat dikembangkan.
Ada banyak konsep, istilah dan
teori yang ditawarkan Homi K Bhaba, salah satunya yaitu Hibriditas. Dalam suatu wilayah di mana terdapat proses gerak dan
pertukaran antara status yang berbeda-beda dan terus menerus, terdapat ungkapan
dan sistem budaya tertentu dan kemudian memunculkan sebuah ruang dan ketegangan
antar keduanya. Selanjutnya, ketegangan antara penjajah dan terjajah
menghasilkan apa yang disebut dengan hibriditas.
Bentuk
Hibriditas Abraham de Withart Dalam Cerpen Nieke
de Flinder
Hibrid secara teknis dipahami
sebagai persilangan antara dua spesies yang berbeda. Dalam hal ini, istilah
Hibriditas mengacu pada interaksi antara bentuk-bentuk budaya berbeda, yang
suatu saat akan menghasilkan pembentukan budaya-budaya dan identitas-identitas
baru. Identitas baru yang dimaksud pun masih sangat kontradiktif, misalnya
percampuran dua budaya antara pihak penjajah dan pihak terjajah yang akhirnya
menghasilkan budaya baru lagi yaitu setengah budaya terjajah dan setengahnya
lagi budaya terjajah.
Jika disesuaikan dengan istilah
Bhaba, maka tokoh Abraham de Withart dalam cerpen Nieke de Flinder merupakan salah satu contoh pemilik identitas baru
yang kontradiktif.
Abraham sendiri adalah tokoh berdarah campuran Indo-Eropa (Eurasia). Hal lain yang juga harus dipahami yaitu bahwa hibriditas bukan sekedar wacana tentang percampuran antar-budaya seperti dalam pengertian asimilasi, kreolisasi atau yang lainnya. Namun lebih dari itu, dalam konsep hibriditas terdapat persoalan politik-kultural yang mendasar.
Abraham sendiri adalah tokoh berdarah campuran Indo-Eropa (Eurasia). Hal lain yang juga harus dipahami yaitu bahwa hibriditas bukan sekedar wacana tentang percampuran antar-budaya seperti dalam pengertian asimilasi, kreolisasi atau yang lainnya. Namun lebih dari itu, dalam konsep hibriditas terdapat persoalan politik-kultural yang mendasar.
Sebelumnya Abraham bekerja di dunia jurnalistik yaitu pada salah satu
surat kabar harian di Bataviaasch Nieuwsblad. Seperti dalam sejarah,
surat kabar tersebut merupakan surat kabar yang inovatif dan sangat kritis
terhadap pemerintah kolonial dan menjadi corong warfa Indo di Hindia Belanda
bahkan juga dalam beberapa kasus terlihat keberpihakannya kepada Pribumi. Tak
puas dengan posisinya sebagai Penanggung Jawab Rubrik di Bataviaasch Nieuwsblad, ia
mengundurkan diri untuk menjadi Redaktur Pelaksana di Spiegel van Insulinde, surat kabar harian lain yang dikelola oleh
kolonial yang tentu lebih cenderung memihak kaum penjajah. Namun baru berselang
satu bulan dirinya bekerja dengan Aldemaar Grijzepen di Spiegel, Abraham merasa tak nyaman bahkan sedikit menyesali
keputusannya meninggalkan Bataviaasch Nieuwsblad.
Aku
memperbaiki letak duduk, berusaha menunjukkan kepatuhan. Mendadak aku merasa
tempat kerjaku sebelumnya jauh lebih nyaman. Tetapi tentu tak ada guna menyesali
keputusan pindah yang kubuat sendiri.
Selain
itu, keterbelahan yang merupakan
pintu masuk teori Bhaba dalam hibriditas, dapat terlihat dari keputusan
terakhir Abraham. Kendati ia terlihat patuh pada atasannya Grijzepen yang
melarang dirinya merilis berita panas terkait salah satu anggota dewan (tokoh
kolonial) atas tindakan asusilanya dengan Nieke de Flinder, kupu-kupu jelita
yang juga merupakan wanita panggilan kelas elit, namun ia justru melakukan
tindakan sebaliknya.
“Baik,
Tuan,” jawabku lirih.
Kubiarkan
pria itu lenyap dari pandangan. Lalu kuambil dua lembar kertas kosong.
Kumasukkan ke dalam mesin ketik. Siang itu aku menulis dua buah surat. Surat
pertama, adalah permohonan pengunduran diriku dari Spiegel van Insulinde. Surat
kedua, kualamatkan kepada Karel Zaalberg, Pemimpin Redaksi Bataviaasch
Nieuwsbland.
Keterbelahan
lain yang dapat dilihat dalam teks adalah, saat Abraham tidak mengindahkan
usulan atasannya Grijzepen untuk memuat dan memojokkan partai Pribumi pada
halaman depan surat harian Spiegel.
Alasan berbau kapitalis Grijzepen atas keberpihakannya terhadap Alfons pun tak
dipedulikan oleh Abraham. Ia justru lebih tertarik menguak borok para petinggi
kolonial itu dibandingkan memuat berita pemberontakan partai Pribumi.
“Kita
tak bisa memuatnya. Bukan karena foto atau surat yang belum tentu asli itu,” ujarnya
di akhir ceritaku.
“Jadi
karena apa?” desakku.
“Pertama,
ia anggota dewan. Beritanya akan menyebar di kalangan pribumi, merusak
kepercayaan kepada pemerintah. Kedua, Alfons baru saja mengambil alih 35,7%
kepemilikan saham Spiegel. Membuatnya menjadi pemilik suara terbesar doi sini.
Semoga engkau paham,” Tuan Grijzepen bangkit dari kursi, mengenakan jasnya.
Sebelum melewati pintu, ia menatapku sekali lagi.
“Pemberontakan
di Rancaekek dan bahaya partai pribumi lebih cocok untuk halaman depan.”
“Baik
Tuan,” jawabku lirih.
Bhaba
juga mengemukakan istilah lain yang relevan dengan Hibriditas yakni budaya parsial atau budaya di antara, sama-sama tidak jelas di mana hibrid dominan di antara lapisan sosial
terjajah atau lapisan sosial penjajah. Hibrid menemukan suaranya di garis-batas
(antara penjajah dan terjajah). Abraham de Withart tidak hanya galau dalam keterbelahannya, melainkan ia
sebenarnya juga memiliki siasat tersendiri untuk bertahan hidup di garis-batas nya.
Kukatakan
kepada Zaalberg, aku minta maaf atas keputusan pengunduran diri beberapa waktu
lalu. Akuingin kembali bekerja bersamanya. Tak masalah bila harus kemvali ke
jabatan semula sebagai Penanggung Jawab Rubrik. Aku sudah siap dengan satu
berita yang akan mengguncang Batavia.
Konsep
Bhaba ini juga mampu menjelaskan bahwa baik pihak penjajah, pihak terjajah dan
bahkan hibrid tidak independen satu sama lain. Hal ini tercermin dari sikap
Abraham yang masih percaya dengan De Patriot, informan Pribumi yang memberikan
dirinya informasi tentang skandal petinggi-petinggi pemerintah. Atau
sebaliknya, sikap De Patriot yang masih percaya pada Abraham meski bisa dikatakan
Abraham sudah dengan begitu mudah berpindah haluan.
“Apakah engkau masih Abraham de Withart seperti yang kutemui di
Bataviaasch Nieuwsblaad?” sambungnya.
Bahkan
hubungan antara Grijzepen dengan Abraham, meski secara tersirat dijelaskan
dalam teks, namun kegamangan Grijzepen untuk kasus skandal Alfons cukup
mebuktikan bahwa Grijzepen yang juga tokoh kolonial tak serta merta menolak
bocoran berita dari informan Pribumi, De Patriot maupun dari anak buahnya
sendiri yang Indo-Eropa, Abraham. Meski pada akhirnya Grijzepen lebih memilih
melindungi teman koloninya, Alfons. Namun tak dapat ditampik bahwa hubungan-hubungan
mereka para tokoh dalam cerpen Nieke de
Flinder distrukturkan oleh bentuk kepercayaan yang sangat kontradiktif dan
beraneka ragam.
Kesimpulan
- Hasil dari analisis yang dilakukan menunjukkan bahwa terdapat beberapa kutipan yang memungkinkan untuk mewakili bentuk hibriditas dalam cerpen Nieke de Flinder karya Iksaka Banu dan mengarah pada hibriditas tokoh utama Abraham de Withart. Selain itu, sikap keterbelahan Abraham memungkinkan dirinya untuk membuktikan bahwa, identitas bukanlah sesuatu yang mutlak, melainkan selalu dalam posisi tarik ulur yang senantiasa direkonstruksi terus-menerus. Sebagai seorang hibrid, identitas Abraham pun tidak pernah mapan, seperti halnya dengan profesi yang ia geluti. Karena Hibriditas, merupakan salah satu proses silang budaya, bukan benturan budaya. Sehingga kemungkinan lain dalam analisis ini adalah dinamika pembentukan identitas pada Abraham belum atau tak pernah selesai.
Daftar Pustaka
Bhaba, Homi. K. 2007. The Location of Culture. London, New York: Routladge
Chrysostomos E, Leonard. 2012. Signifikansi Teori Pemikiran Homi Bhaba: Sebuah Pengantar Teori
Pascakolonial. Konferensi Paper. https://www.researchgate.net/publication/321713763
Faruk, 2007. Belenggu Pasca-Kolonial Hegemoni dan Resistemsi dalam Sastra Indonesia.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Pustaka Laman
Wikipedia. 2018. https://id.m.wikipedia.org/wiki/Betaviaasch_Nieuwsblad.
Diakses pada 25 Oktober 2018 pukul 17.53.
https://www.kompasiana.com/meitasari/55115632a333111545ba7d53/hommi-k-Bhaba-dan-kolonialisme.
Diakses pada 25 Oktober 2018, pukul 17:06
https//poskolonialisme.wordpress.com/2013/02/02/teori-pascakolonialisme-homi-k-Bhaba-ontologi-dan-epistimologinya/.
Diakses
pada 24 Oktober 2018, pukul 19:00
http://ikwansetiawan.web.unej.ac.id./2015/04/27/membaca-budaya-bersama-bhaba-ambivalensi-hibriditas-dan-keliatan-kultural/.
Diakses pada 23 Oktober 2018, pukul 19:08
0 komentar:
Posting Komentar