Banner

Buku di tangan kiri. Kopi di tangan kanan. Mie, roti, bakwan kawi, di tangan siapa???

 

Senin, 18 Februari 2019

Hibriditas Tokoh Abraham de Withart Dalam Cerpen Nieke de Flinder Karya Iksaka Banu : Kajian Poskolonial

0 komentar


Abstrak
Menurut Homi K Bhaba, kritik poskolonial mengetengahkan ketidaksamaan dan keganjilan representasi budaya dalam otoritas sosial dan politik. Dalam pandangan Bhaba, ia juga mempertanyakan asumsi para analis kolonialis yang melihat identitas penjajah dan terjajah cenderung kaku, mutlak dan terlalu sederhana. Beberapa konsep teori pascakolonial Bhaba antara lain mimikri, hibriditas, ambivalensi, dsb. Adapun fokus dan tujuan masalah dalam analisis ini adalah untuk mengetahui hibriditas pada tokoh utama Abraham de Withart dalam cerpen Nieke de Flinder karya Iksaka Banu. Hasil dalam analisis ini menunjukkan bahwa terdapat beberapa kutipan yang memungkinkan untuk mewakili bentuk hibriditas Abraham de Withart. Hibriditas merupakan persilangan budaya atau sebagai cara untuk mengacu pada interaksi antara bentuk-bentuk perbedaan budaya yang dapat menghasilkan pembentukan budaya dan identitas baru. Istilah lain yang relevan dengan konsep Bhaba adalah keterbelahan. Sebagai seorang Jurnalis, keterbelahan Abraham antara memilih membungkam berita hangat terkait skandal petinggi pemerintah kolonial di Batavia, atau justru menyerahkan berita tersebut pada kantor Surat Kabar lain yang lebih pro-Pribumi meski itu berarti ia harus melepas jabatannya yang cukup tinggi di tempat kerjanya saat itu, kemungkinan adalah salah satu bentuk hibriditas Abraham de Withart. Selain itu, Abraham juga menunjukkan bahwa identitas bukanlah sesuatu yang mutlak, melainkan selalu dalam posisi tarik ulur yang senantiasa direkonstruksi terus-menerus. Identitas dirinya pun tidak pernah mapan, seperti halnya dengan profesi yang ia geluti.

Kata Kunci: Poskolonial, Nieke de Flinder, Hibriditas, Homi K Bhaba

Pendahuluan 
            Kritik poskolonial adalah suatu jaringan sastra atas rekam jejak kolonialisme. Jika ditelusuri dengan cermat, sangat banyak karya sastra Indonesia modern yang merekam jejak kolonialisme, salah satunya Nieke de Flinder karya Iksaka Banu. Beberapa cerpen Iksaka Banu lainnya yang terkumpul dalam buku Semua Untuk Hindia pun sangat kental dengan kenyataan sejarah bahwa Indonesia pernah menjadi bagian dari kolonialisme atau bangsa yang terjajah hingga ratusan tahun. Dari banyaknya karya sastra yang merekam jejak penjajahan, cerpen Nieke de Flinder ini sangat tepat dipilih sebagai objek material analisis poskolonial dengan fokus pada teori hibriditas yang dikemukakan oleh Homi K Bhaba.
               Bhaba menggambarkan teori dan kritiknya tentang permasalahan interaksi budaya, muncul hanya pada simbol batas budaya dimana arti dan nilai dibaca atau disalahartikan. Budaya, menurut Bhaba, muncul sebagai problem pada poin dimana di sana ada kehilangan makna dalam persaingan dan artikulasi kehidupan sehari-hari berbagai kelas, gender, ras, dan negara. Selanjutnya, Bhaba memaparkankan bahwa perbedaan budaya fokus pada persoalan ambivalensi kekuasaan budaya, penempatan dominasi atas nama supremasi budaya merupakan produksi momen diferensiasi sekaligus sebagai referensi pengetahuan kebenaran dalam persoalan pada konsep dan momen enunsiasi. Lewat konsep liminitas, Bhaba memaparkan bahwa enunsiasi menciptakan suatu “ruang antara” yang memungkinkan perubahan budaya dapat berlangsung, yaitu ruang antar-budaya di mana strategi-strategi kedirian personal maupun komunal dapat dikembangkan.         
              Ada banyak konsep, istilah dan teori yang ditawarkan Homi K Bhaba, salah satunya yaitu Hibriditas. Dalam suatu wilayah di mana terdapat proses gerak dan pertukaran antara status yang berbeda-beda dan terus menerus, terdapat ungkapan dan sistem budaya tertentu dan kemudian memunculkan sebuah ruang dan ketegangan antar keduanya. Selanjutnya, ketegangan antara penjajah dan terjajah menghasilkan apa yang disebut dengan hibriditas.

Bentuk Hibriditas Abraham de Withart Dalam Cerpen Nieke de Flinder
              Hibrid secara teknis dipahami sebagai persilangan antara dua spesies yang berbeda. Dalam hal ini, istilah Hibriditas mengacu pada interaksi antara bentuk-bentuk budaya berbeda, yang suatu saat akan menghasilkan pembentukan budaya-budaya dan identitas-identitas baru. Identitas baru yang dimaksud pun masih sangat kontradiktif, misalnya percampuran dua budaya antara pihak penjajah dan pihak terjajah yang akhirnya menghasilkan budaya baru lagi yaitu setengah budaya terjajah dan setengahnya lagi budaya terjajah.
               Jika disesuaikan dengan istilah Bhaba, maka tokoh Abraham de Withart dalam cerpen Nieke de Flinder merupakan salah satu contoh pemilik identitas baru yang kontradiktif.
Abraham sendiri adalah tokoh berdarah campuran Indo-Eropa (Eurasia). Hal lain yang juga harus dipahami yaitu bahwa hibriditas bukan sekedar wacana tentang percampuran antar-budaya seperti dalam pengertian asimilasi, kreolisasi atau yang lainnya. Namun lebih dari itu, dalam konsep hibriditas terdapat persoalan politik-kultural yang mendasar.
               Sebelumnya Abraham bekerja di dunia jurnalistik yaitu pada salah satu surat kabar harian di Bataviaasch Nieuwsblad. Seperti dalam sejarah, surat kabar tersebut merupakan surat kabar yang inovatif dan sangat kritis terhadap pemerintah kolonial dan menjadi corong warfa Indo di Hindia Belanda bahkan juga dalam beberapa kasus terlihat keberpihakannya kepada Pribumi. Tak puas dengan posisinya sebagai Penanggung Jawab Rubrik di Bataviaasch Nieuwsblad, ia mengundurkan diri untuk menjadi Redaktur Pelaksana di Spiegel van Insulinde, surat kabar harian lain yang dikelola oleh kolonial yang tentu lebih cenderung memihak kaum penjajah. Namun baru berselang satu bulan dirinya bekerja dengan Aldemaar Grijzepen di Spiegel, Abraham merasa tak nyaman bahkan sedikit menyesali keputusannya meninggalkan Bataviaasch Nieuwsblad.

Aku memperbaiki letak duduk, berusaha menunjukkan kepatuhan. Mendadak aku merasa tempat kerjaku sebelumnya jauh lebih nyaman. Tetapi tentu tak ada guna menyesali keputusan pindah yang kubuat sendiri.

Selain itu, keterbelahan yang merupakan pintu masuk teori Bhaba dalam hibriditas, dapat terlihat dari keputusan terakhir Abraham. Kendati ia terlihat patuh pada atasannya Grijzepen yang melarang dirinya merilis berita panas terkait salah satu anggota dewan (tokoh kolonial) atas tindakan asusilanya dengan Nieke de Flinder, kupu-kupu jelita yang juga merupakan wanita panggilan kelas elit, namun ia justru melakukan tindakan sebaliknya.

“Baik, Tuan,” jawabku lirih.
Kubiarkan pria itu lenyap dari pandangan. Lalu kuambil dua lembar kertas kosong. Kumasukkan ke dalam mesin ketik. Siang itu aku menulis dua buah surat. Surat pertama, adalah permohonan pengunduran diriku dari Spiegel van Insulinde. Surat kedua, kualamatkan kepada Karel Zaalberg, Pemimpin Redaksi Bataviaasch Nieuwsbland.

Keterbelahan lain yang dapat dilihat dalam teks adalah, saat Abraham tidak mengindahkan usulan atasannya Grijzepen untuk memuat dan memojokkan partai Pribumi pada halaman depan surat harian Spiegel. Alasan berbau kapitalis Grijzepen atas keberpihakannya terhadap Alfons pun tak dipedulikan oleh Abraham. Ia justru lebih tertarik menguak borok para petinggi kolonial itu dibandingkan memuat berita pemberontakan partai Pribumi.

“Kita tak bisa memuatnya. Bukan karena foto atau surat yang belum tentu asli itu,” ujarnya di akhir ceritaku.
“Jadi karena apa?” desakku.
“Pertama, ia anggota dewan. Beritanya akan menyebar di kalangan pribumi, merusak kepercayaan kepada pemerintah. Kedua, Alfons baru saja mengambil alih 35,7% kepemilikan saham Spiegel. Membuatnya menjadi pemilik suara terbesar doi sini. Semoga engkau paham,” Tuan Grijzepen bangkit dari kursi, mengenakan jasnya. Sebelum melewati pintu, ia menatapku sekali lagi.
“Pemberontakan di Rancaekek dan bahaya partai pribumi lebih cocok untuk halaman depan.”
“Baik Tuan,” jawabku lirih.

Bhaba juga mengemukakan istilah lain yang relevan dengan Hibriditas yakni budaya parsial atau budaya di antara, sama-sama tidak jelas di mana hibrid dominan di antara lapisan sosial terjajah atau lapisan sosial penjajah. Hibrid menemukan suaranya di garis-batas (antara penjajah dan terjajah). Abraham de Withart tidak hanya galau dalam keterbelahannya, melainkan ia sebenarnya juga memiliki siasat tersendiri untuk bertahan hidup di garis-batas nya.

Kukatakan kepada Zaalberg, aku minta maaf atas keputusan pengunduran diri beberapa waktu lalu. Akuingin kembali bekerja bersamanya. Tak masalah bila harus kemvali ke jabatan semula sebagai Penanggung Jawab Rubrik. Aku sudah siap dengan satu berita yang akan mengguncang Batavia.

Konsep Bhaba ini juga mampu menjelaskan bahwa baik pihak penjajah, pihak terjajah dan bahkan hibrid tidak independen satu sama lain. Hal ini tercermin dari sikap Abraham yang masih percaya dengan De Patriot, informan Pribumi yang memberikan dirinya informasi tentang skandal petinggi-petinggi pemerintah. Atau sebaliknya, sikap De Patriot yang masih percaya pada Abraham meski bisa dikatakan Abraham sudah dengan begitu mudah berpindah haluan.

“Apakah engkau masih Abraham de Withart seperti yang kutemui di Bataviaasch Nieuwsblaad?” sambungnya.

Bahkan hubungan antara Grijzepen dengan Abraham, meski secara tersirat dijelaskan dalam teks, namun kegamangan Grijzepen untuk kasus skandal Alfons cukup mebuktikan bahwa Grijzepen yang juga tokoh kolonial tak serta merta menolak bocoran berita dari informan Pribumi, De Patriot maupun dari anak buahnya sendiri yang Indo-Eropa, Abraham. Meski pada akhirnya Grijzepen lebih memilih melindungi teman koloninya, Alfons. Namun tak dapat ditampik bahwa hubungan-hubungan mereka para tokoh dalam cerpen Nieke de Flinder distrukturkan oleh bentuk kepercayaan yang sangat kontradiktif dan beraneka ragam.

Kesimpulan 
  1. Hasil dari analisis yang dilakukan menunjukkan bahwa terdapat beberapa kutipan yang memungkinkan untuk mewakili bentuk hibriditas dalam cerpen Nieke de Flinder karya Iksaka Banu dan mengarah pada hibriditas tokoh utama Abraham de Withart. Selain itu, sikap keterbelahan Abraham memungkinkan dirinya untuk membuktikan bahwa, identitas bukanlah sesuatu yang mutlak, melainkan selalu dalam posisi tarik ulur yang senantiasa direkonstruksi terus-menerus. Sebagai seorang hibrid, identitas Abraham pun tidak pernah mapan, seperti halnya dengan profesi yang ia geluti. Karena Hibriditas, merupakan salah satu proses silang budaya, bukan benturan budaya. Sehingga kemungkinan lain dalam analisis ini adalah dinamika pembentukan identitas pada Abraham belum atau tak pernah selesai.



Daftar Pustaka

Bhaba, Homi. K. 2007. The Location of Culture. London, New York: Routladge
Chrysostomos E, Leonard. 2012. Signifikansi Teori Pemikiran Homi Bhaba: Sebuah Pengantar Teori Pascakolonial. Konferensi Paper.  https://www.researchgate.net/publication/321713763
Faruk, 2007. Belenggu Pasca-Kolonial Hegemoni dan Resistemsi dalam Sastra Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Pustaka Laman
                       Wikipedia. 2018. https://id.m.wikipedia.org/wiki/Betaviaasch_Nieuwsblad. Diakses pada 25 Oktober 2018 pukul 17.53.
https//poskolonialisme.wordpress.com/2013/02/02/teori-pascakolonialisme-homi-k-Bhaba-ontologi-dan-epistimologinya/. Diakses pada 24 Oktober 2018, pukul 19:00



0 komentar:

Posting Komentar

Urgensi Fathering (Peran Ayah) dalam Pengasuhan Anak

Secara umum tumbuh kembang anak yang maksimal akan terjadi jika pengasuhan yang benar berada langsung di tangan orangtua. Ayah dan ib...