Banner

Buku di tangan kiri. Kopi di tangan kanan. Mie, roti, bakwan kawi, di tangan siapa???

 

Minggu, 01 November 2020

Urgensi Fathering (Peran Ayah) dalam Pengasuhan Anak

1 komentar



Secara umum tumbuh kembang anak yang maksimal akan terjadi jika pengasuhan yang benar berada langsung di tangan orangtua. Ayah dan ibu bersama-sama mengambil peranan yang sejajar memberikan pengasuhan yang tepat kepada anak. Dewasa ini, keterlibatan seorang ayah dalam mendidik dan mengasuh anak mulai menjadi perhatian khusus di berbagai disiplin ilmu. Banyak penelitian yang telah membuktikan bahwa seorang ayah memiliki peran dalam kesuksesan anak-anaknya. Peran ayah dapat mempengaruhi kehidupan sosial, prestasi di sekolah, serta pencapaian cita-cita anak-anaknya. Istilah fathering sendiri merujuk pada peran ayah dalam parenting (proses pembelajaran/pengasuhan/interaksi antara orang tua dan anak).
Ada satu kisah yang menarik untuk ditelisik di sebuah postingan media sosial beberapa waktu lalu. Dalam pertemuan sekolah yang dihadiri oleh guru, siswa, dan orang tua murid di sebuah aula sekolah, seorang anak mendapat juara pertama dan meraih banyak prestasi. Seluruh guru pun sepakat meminta ayahnya untuk berbagi cara dan tips bagaimana ia mendidik si anak sehingga menjadi murid berprestasi. Tak terbiasa berbicara di depan banyak orang, sang ayah hanya berbicara lirih dan singkat di podium; “Saya cuma kuli bangunan yang buta huruf. Saya tidak tahu cara mendidik. Yang saya lakukan hanyalah duduk di sebelah anak saya setiap kali ia belajar di malam hari.” 

Kisah menyentuh tersebut cukup memberi kesan dan pelajaran bagi para ayah dalam mengasuh, mendampingi, dan mendidik anak. Bahkan secara tak langsung kisah tersebut juga dapat menguatkan teori psikolog kontemporer Daniel Goleman, yang menjelaskan banyak hal terkait IQ (Intelligence Quotient) dan EQ (Emotional Quotient) seseorang. Menurut Goleman, dalam kehidupan sosial seseorang lebih membutuhkan EQ atau kecerdasan emosinya dibandingkan dengan IQ atau tingkat intelektualnya. Goleman juga menegaskan bahwa bukan IQ yang menjadi penentu kesuksesan seseorang, melainkan EQ. 

          Pada kisah di atas, sang ayah adalah seorang kuli bangunan buta huruf yang bisa dikatakan tingkat IQ beliau tak setinggi ayah-ayah lain yang (mungkin) memiliki status pendidikan atau pekerjaan lebih baik. Namun di sisi lain dapat juga disimpulkan bahwa, kemampuan emosional beliau lebih tinggi dari kemampuan intelektualnya. Kesediaan beliau meluangkan waktu setiap malam untuk menemani buah hatinya belajar, menjadi bukti kecakapan emosionalnya. Beliau sama sekali tak mengajari anaknya membaca, menulis atau berhitung, yang dilakukan hanyalah duduk-diam-menemani. Namun ternyata hal tersebut memiliki efek psikologis yang luar biasa pada anak, membuat anak merasa nyaman, diperhatikan, bernilai, sehingga mampu memicu dan menumbuhkan semangat pada si anak untuk berprestasi. Di sinilah hubungan antara perkembangan kecerdasan moral anak dengan peran keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak terbentuk.
Menurut Naomi Soetikno, seorang psikolog dan staf pengajar salah satu universitas di Jakarta, ada empat unsur peran ayah dalam mengasuh anak, yaitu; structure, warm, accessibility dan playing. Lebih rinci, Naomi menjelaskan bahwa rumah tangga akan lemah arahnya jika tidak memiliki struktur kepala keluarga yang tegas menetapkan aturan bagi anak-anaknya, namun demikian juga perlu diimbangi dengan ayah yang hangat (warm) kepada anak-anak, dimana seorang ayah dapat menjadi tempat buah hati mencurahkan isi hatinya. Lalu, seorang ayah harus mudah diakses (accessibility) oleh anak di sela-sela pekerjaannya, hal ini membuat sang anak akan selalu merasa aman dan terlindungi. Selanjutnya ayah harus termotivasi untuk bermain (playing) bersama anak-anaknya, karena kegiatan mengasyikkan tersebut juga memiliki banyak pengaruh positif bagi perkembangan buah hati.
Seorang ayah mempunyai karakteristik perilaku pengasuhan khas yang berbeda dengan ibu. Peran dan keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak usia dini memberikan dampak di berbagai aspek perkembangan anak, baik aspek fisik motorik, aspek emosional, aspek kognitif dan aspek sosial. Sebaliknya, ketiadaan peran ayah, baik secara fisik maupun psikologis, tentu akan berdampak negatif pada perkembangan anak.
Ada sederet manfaat dari kedekatan ayah dan anak yang di jelaskan dalam psikologi parenting, diantaranya; mampu meminimalisir perilaku menyimpang pada anak, memperluas lingkungan sosial, memiliki kemampuan kognitif yang tinggi, anak menunjukkan kemampuan pemecahan masalah yang optimal, berkembangnya kompetensi sosial-emosional, anak lebih mencari kedekatan atau kepedulian pada orangtuanya, memiliki kesehatan mental yang baik di saat dewasa, minimnya permasalahan/kenakalan pada masa remaja, dan masih banyak lagi manfaat positif lainnya.
Di Indonesia, keterlibatan ayah dengan anak sudah mulai diterapkan. Salah satu upaya yang mendukung proses fathering adalah, pemerintah saat ini sedang menggalakkan program ayah boleh mengambil cuti apabila istri sedang hamil dan akan melahirkan. Hal tersebut diharapkan bisa menjadi gerbang awal keterlibatan ayah dalam keluarga, terutama bab mengasuh dan mendampingi anak.

Nah, interaksi apa saja yang sudah ayah lakukan pada buah hati?


Daftar Pustaka
Goleman Daniel. 1996. Kecerdasan Emosional. Jakarta; Gramedia Pustaka Utama
Harmaini, Shofiah Viviek, Yulianti Alma. 2014. Peran Ayah Dalam Mendidik Anak.  Jurnal Psikologi Vol.10 No. II p. 80-84
Septiani Dinda, Nasution Itto Nesyia. 2017. Peran Keterlibatan Ayah dalam Pengasuhan Bagi Perkembangan Kecerdasan Moral Anak. Jurnal Psikologi Vol. 13 No.II p. 120-125

Read more...

Senin, 22 Juli 2019

Improvisasi Seni Pertunjukan Sosio-Drama 'Rawa Pening' SMA-N 11 Semarang

0 komentar

Jenis karya sastra yang berkembang di masyarakat sangat beraneka ragam, salah satunya adalah Cerita Rakyat yang dikenal secara luas oleh masyarakat melalui lisan. Dewasa ini, masyarakat membudidayakan cerita-cerita rakyat tersebut dengan berbagai cara yang sangat bervariasi, menarik, apik, dan unik, melalui seni-seni pertunjukan seperti; wayang, seni tari, sanggar tuturan (dahulu sanggar tuturan direkam dan ditayangkan melalui radio atau kaset-kaset audio, namun kini bisa mudah diakses di Youtube), sosio-drama, drama musikal, opera, teater, dan lain sebagainya. Pada tulisan ini hanya akan membahas salah satu seni pertunjukan sosio-drama yang diperankan dengan cukup inovatif, kreatif, nyentrik dan lucu oleh adik-adik SMA dari Semarang.


Salah satu cerita rakyat yang pernah berkembang di daerah Semarang – Jawa Tengah dan diyakini masyarakat setempat pernah terjadi, adalah cerita Rawa Pening. Saat ini Rawa Pening merupakan daerah rawa yang menjadi satu dari sekian banyak objek wisata menarik di Jawa Tengah. Area tersebut tidak hanya menjadi ekosistem enceng gondok, namun juga menawarkan keindahan berbalut mitos dan cerita mistis yang kental. Cerita Rawa Pening disebarkan oleh masyarakat luas melalui lisan dan dilestarikan melalui seni-seni pertunjukan ataupun cara-cara lain yang kekinian, seperti tari, pentas drama, animasi 2D yang akan lebih memikat anak-anak kecil, atau yang tak kalah menarik seperti pada sosio-drama yang diperankan adik-adik SMA 11 Semarang dalam acara tahunan ‘Kearifan Budaya Lokal Indonesia’ pada 2018 lalu.

Meski bersumber dari cerita yang sama, namun selalu ada perbedaan, modifikasi, maupun imrpovisasi dari setiap seni pertunjukan yang dilakonkan masyarakat umum. Misalnya pada sosio-drama Rawa Pening yang diperankan adik-adik SMA 11 Semarang, cerita mengalir begitu renyah penuh canda tawa, kontras dengan kisah asli yang beredar bahwa Rawa Pening sama sekali bukan cerita humor yang akan mengocak perut penikmat cerita. Sebaliknya, Rawa Pening termasuk kisah tragis nan mistis. Namun dengan kreatifitas khas anak-anak SMA, Rawa Pening berubah menjadi kisah lucu, menghibur, dengan tetap memberikan hikmah maupun ajaran moral yang dapat dipetik oleh penonton / penikmat seni pertunjukan. Mereka mampu memberi bumbu, ramuan, gaya, dan imajinasi baru yang diaplikasikan ke cerita lama (kuno). Percakapan-percakapan kekinian khas generasi milenial pun tak luput dari adegan-adegan yang mereka perankan. Adegan yang seharusnya penuh haru berubah seketika menjadi adegan lucu. Misalnya pada percakapan antara Nyai Latung yang menolong tokoh utama Baro Klinting dari kelaparan dan bullying warga setempat berikut ini;
Nyai Latung     : “Koe pengene mangan opo?” (Kamu maunya makan apa?)
Baro Klinting   : “Yo lek iso aku njaluk opo ae sing kekinian seko Eropa, Mbah. Soale aku
                        alergi lek mangan panganan Jowo koyo Gudeg ngono kui.”

                        (Ya kalau bisa aku minta makanan yang kekinian dari Eropa, Nek.
                         Soalnya aku alergi makan makanan Jawa seperti Gudeg.)
Nyai Latung     : “Mbahe enek panganan, tapi ora Go-Food. Aku teko dewe. Iki enek
                        menu double cheese bulgogi...” (Nenek ada makanan, tapi nggak
                         Go-Food. Nenek datang sendiri. Ini ada menu bulgogi double cheese…)

Masih ada sederet adegan-adegan lain yang tak kalah seru dan lucu. Mereka memerankan cerita klasik dengan gaya modern, serta memanfatkan istilah-istilah yang sedang viral, bahkan alur cerita juga sedikit diplesetkan ala-ala sinetron remaja yang sedang hits di pertelevisian Indonesia.

Secara umum salah satu ciri Cerita Rakyat yang termasuk sastra lisan, adalah tak diketahui pasti mana versi yang asli. Ada banyak versi cerita dengan tokoh atau tempat kejadian yang sama, sehingga perbedaan alur dan ending dari cerita dalam seni pertunjukan pun tak dapat dihindari. Misalnya pada cerita Rawa Pening yang ditulis Tri Wahyuni dan diterbitkan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, kisah Rawa Pening ditutup rapi dan apik dengan Baro Klinting berhasil lepas dari kutukan sebagai manusia setengah naga lalu menemui kedua orangtuanya, Ki Hajar Salokantara dan Endang Saraswati. Namun pada sosio-drama yang diperankan adik-adik SMA tersebut, kisah berakhir begitu saja saat banjir dan air bah melanda desa setempat. Banjir dan air bah yang sejatinya musibah mengerikan baik dalam cerita maupun dalam kehidupan nyata, pada sosio-drama tersebut justru menjadi closing cerita yang rame dan penuh tawa.




Daftar Pustaka
Wahyuni, Tri. 2016. Legenda Rawa Pening Cerita Rakyat Dari Jawa Tengah. Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.
Pustaka Laman
https://id.wikipedia.org/wiki/Seni_pertunjukan Diakses pada 11 Maret 2019 pukul 08.55.


http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/ Diakses pada 11 Maret 2019 pukul 09.10.

https://www.youtube.com/watch?v=jt5DkT3jSn4&t=342s Diakses pada 11 Maret pukul 11.00

Read more...

Senin, 18 Februari 2019

Hibriditas Tokoh Abraham de Withart Dalam Cerpen Nieke de Flinder Karya Iksaka Banu : Kajian Poskolonial

0 komentar


Abstrak
Menurut Homi K Bhaba, kritik poskolonial mengetengahkan ketidaksamaan dan keganjilan representasi budaya dalam otoritas sosial dan politik. Dalam pandangan Bhaba, ia juga mempertanyakan asumsi para analis kolonialis yang melihat identitas penjajah dan terjajah cenderung kaku, mutlak dan terlalu sederhana. Beberapa konsep teori pascakolonial Bhaba antara lain mimikri, hibriditas, ambivalensi, dsb. Adapun fokus dan tujuan masalah dalam analisis ini adalah untuk mengetahui hibriditas pada tokoh utama Abraham de Withart dalam cerpen Nieke de Flinder karya Iksaka Banu. Hasil dalam analisis ini menunjukkan bahwa terdapat beberapa kutipan yang memungkinkan untuk mewakili bentuk hibriditas Abraham de Withart. Hibriditas merupakan persilangan budaya atau sebagai cara untuk mengacu pada interaksi antara bentuk-bentuk perbedaan budaya yang dapat menghasilkan pembentukan budaya dan identitas baru. Istilah lain yang relevan dengan konsep Bhaba adalah keterbelahan. Sebagai seorang Jurnalis, keterbelahan Abraham antara memilih membungkam berita hangat terkait skandal petinggi pemerintah kolonial di Batavia, atau justru menyerahkan berita tersebut pada kantor Surat Kabar lain yang lebih pro-Pribumi meski itu berarti ia harus melepas jabatannya yang cukup tinggi di tempat kerjanya saat itu, kemungkinan adalah salah satu bentuk hibriditas Abraham de Withart. Selain itu, Abraham juga menunjukkan bahwa identitas bukanlah sesuatu yang mutlak, melainkan selalu dalam posisi tarik ulur yang senantiasa direkonstruksi terus-menerus. Identitas dirinya pun tidak pernah mapan, seperti halnya dengan profesi yang ia geluti.

Kata Kunci: Poskolonial, Nieke de Flinder, Hibriditas, Homi K Bhaba

Pendahuluan 
            Kritik poskolonial adalah suatu jaringan sastra atas rekam jejak kolonialisme. Jika ditelusuri dengan cermat, sangat banyak karya sastra Indonesia modern yang merekam jejak kolonialisme, salah satunya Nieke de Flinder karya Iksaka Banu. Beberapa cerpen Iksaka Banu lainnya yang terkumpul dalam buku Semua Untuk Hindia pun sangat kental dengan kenyataan sejarah bahwa Indonesia pernah menjadi bagian dari kolonialisme atau bangsa yang terjajah hingga ratusan tahun. Dari banyaknya karya sastra yang merekam jejak penjajahan, cerpen Nieke de Flinder ini sangat tepat dipilih sebagai objek material analisis poskolonial dengan fokus pada teori hibriditas yang dikemukakan oleh Homi K Bhaba.
               Bhaba menggambarkan teori dan kritiknya tentang permasalahan interaksi budaya, muncul hanya pada simbol batas budaya dimana arti dan nilai dibaca atau disalahartikan. Budaya, menurut Bhaba, muncul sebagai problem pada poin dimana di sana ada kehilangan makna dalam persaingan dan artikulasi kehidupan sehari-hari berbagai kelas, gender, ras, dan negara. Selanjutnya, Bhaba memaparkankan bahwa perbedaan budaya fokus pada persoalan ambivalensi kekuasaan budaya, penempatan dominasi atas nama supremasi budaya merupakan produksi momen diferensiasi sekaligus sebagai referensi pengetahuan kebenaran dalam persoalan pada konsep dan momen enunsiasi. Lewat konsep liminitas, Bhaba memaparkan bahwa enunsiasi menciptakan suatu “ruang antara” yang memungkinkan perubahan budaya dapat berlangsung, yaitu ruang antar-budaya di mana strategi-strategi kedirian personal maupun komunal dapat dikembangkan.         
              Ada banyak konsep, istilah dan teori yang ditawarkan Homi K Bhaba, salah satunya yaitu Hibriditas. Dalam suatu wilayah di mana terdapat proses gerak dan pertukaran antara status yang berbeda-beda dan terus menerus, terdapat ungkapan dan sistem budaya tertentu dan kemudian memunculkan sebuah ruang dan ketegangan antar keduanya. Selanjutnya, ketegangan antara penjajah dan terjajah menghasilkan apa yang disebut dengan hibriditas.

Bentuk Hibriditas Abraham de Withart Dalam Cerpen Nieke de Flinder
              Hibrid secara teknis dipahami sebagai persilangan antara dua spesies yang berbeda. Dalam hal ini, istilah Hibriditas mengacu pada interaksi antara bentuk-bentuk budaya berbeda, yang suatu saat akan menghasilkan pembentukan budaya-budaya dan identitas-identitas baru. Identitas baru yang dimaksud pun masih sangat kontradiktif, misalnya percampuran dua budaya antara pihak penjajah dan pihak terjajah yang akhirnya menghasilkan budaya baru lagi yaitu setengah budaya terjajah dan setengahnya lagi budaya terjajah.
               Jika disesuaikan dengan istilah Bhaba, maka tokoh Abraham de Withart dalam cerpen Nieke de Flinder merupakan salah satu contoh pemilik identitas baru yang kontradiktif.
Abraham sendiri adalah tokoh berdarah campuran Indo-Eropa (Eurasia). Hal lain yang juga harus dipahami yaitu bahwa hibriditas bukan sekedar wacana tentang percampuran antar-budaya seperti dalam pengertian asimilasi, kreolisasi atau yang lainnya. Namun lebih dari itu, dalam konsep hibriditas terdapat persoalan politik-kultural yang mendasar.
               Sebelumnya Abraham bekerja di dunia jurnalistik yaitu pada salah satu surat kabar harian di Bataviaasch Nieuwsblad. Seperti dalam sejarah, surat kabar tersebut merupakan surat kabar yang inovatif dan sangat kritis terhadap pemerintah kolonial dan menjadi corong warfa Indo di Hindia Belanda bahkan juga dalam beberapa kasus terlihat keberpihakannya kepada Pribumi. Tak puas dengan posisinya sebagai Penanggung Jawab Rubrik di Bataviaasch Nieuwsblad, ia mengundurkan diri untuk menjadi Redaktur Pelaksana di Spiegel van Insulinde, surat kabar harian lain yang dikelola oleh kolonial yang tentu lebih cenderung memihak kaum penjajah. Namun baru berselang satu bulan dirinya bekerja dengan Aldemaar Grijzepen di Spiegel, Abraham merasa tak nyaman bahkan sedikit menyesali keputusannya meninggalkan Bataviaasch Nieuwsblad.

Aku memperbaiki letak duduk, berusaha menunjukkan kepatuhan. Mendadak aku merasa tempat kerjaku sebelumnya jauh lebih nyaman. Tetapi tentu tak ada guna menyesali keputusan pindah yang kubuat sendiri.

Selain itu, keterbelahan yang merupakan pintu masuk teori Bhaba dalam hibriditas, dapat terlihat dari keputusan terakhir Abraham. Kendati ia terlihat patuh pada atasannya Grijzepen yang melarang dirinya merilis berita panas terkait salah satu anggota dewan (tokoh kolonial) atas tindakan asusilanya dengan Nieke de Flinder, kupu-kupu jelita yang juga merupakan wanita panggilan kelas elit, namun ia justru melakukan tindakan sebaliknya.

“Baik, Tuan,” jawabku lirih.
Kubiarkan pria itu lenyap dari pandangan. Lalu kuambil dua lembar kertas kosong. Kumasukkan ke dalam mesin ketik. Siang itu aku menulis dua buah surat. Surat pertama, adalah permohonan pengunduran diriku dari Spiegel van Insulinde. Surat kedua, kualamatkan kepada Karel Zaalberg, Pemimpin Redaksi Bataviaasch Nieuwsbland.

Keterbelahan lain yang dapat dilihat dalam teks adalah, saat Abraham tidak mengindahkan usulan atasannya Grijzepen untuk memuat dan memojokkan partai Pribumi pada halaman depan surat harian Spiegel. Alasan berbau kapitalis Grijzepen atas keberpihakannya terhadap Alfons pun tak dipedulikan oleh Abraham. Ia justru lebih tertarik menguak borok para petinggi kolonial itu dibandingkan memuat berita pemberontakan partai Pribumi.

“Kita tak bisa memuatnya. Bukan karena foto atau surat yang belum tentu asli itu,” ujarnya di akhir ceritaku.
“Jadi karena apa?” desakku.
“Pertama, ia anggota dewan. Beritanya akan menyebar di kalangan pribumi, merusak kepercayaan kepada pemerintah. Kedua, Alfons baru saja mengambil alih 35,7% kepemilikan saham Spiegel. Membuatnya menjadi pemilik suara terbesar doi sini. Semoga engkau paham,” Tuan Grijzepen bangkit dari kursi, mengenakan jasnya. Sebelum melewati pintu, ia menatapku sekali lagi.
“Pemberontakan di Rancaekek dan bahaya partai pribumi lebih cocok untuk halaman depan.”
“Baik Tuan,” jawabku lirih.

Bhaba juga mengemukakan istilah lain yang relevan dengan Hibriditas yakni budaya parsial atau budaya di antara, sama-sama tidak jelas di mana hibrid dominan di antara lapisan sosial terjajah atau lapisan sosial penjajah. Hibrid menemukan suaranya di garis-batas (antara penjajah dan terjajah). Abraham de Withart tidak hanya galau dalam keterbelahannya, melainkan ia sebenarnya juga memiliki siasat tersendiri untuk bertahan hidup di garis-batas nya.

Kukatakan kepada Zaalberg, aku minta maaf atas keputusan pengunduran diri beberapa waktu lalu. Akuingin kembali bekerja bersamanya. Tak masalah bila harus kemvali ke jabatan semula sebagai Penanggung Jawab Rubrik. Aku sudah siap dengan satu berita yang akan mengguncang Batavia.

Konsep Bhaba ini juga mampu menjelaskan bahwa baik pihak penjajah, pihak terjajah dan bahkan hibrid tidak independen satu sama lain. Hal ini tercermin dari sikap Abraham yang masih percaya dengan De Patriot, informan Pribumi yang memberikan dirinya informasi tentang skandal petinggi-petinggi pemerintah. Atau sebaliknya, sikap De Patriot yang masih percaya pada Abraham meski bisa dikatakan Abraham sudah dengan begitu mudah berpindah haluan.

“Apakah engkau masih Abraham de Withart seperti yang kutemui di Bataviaasch Nieuwsblaad?” sambungnya.

Bahkan hubungan antara Grijzepen dengan Abraham, meski secara tersirat dijelaskan dalam teks, namun kegamangan Grijzepen untuk kasus skandal Alfons cukup mebuktikan bahwa Grijzepen yang juga tokoh kolonial tak serta merta menolak bocoran berita dari informan Pribumi, De Patriot maupun dari anak buahnya sendiri yang Indo-Eropa, Abraham. Meski pada akhirnya Grijzepen lebih memilih melindungi teman koloninya, Alfons. Namun tak dapat ditampik bahwa hubungan-hubungan mereka para tokoh dalam cerpen Nieke de Flinder distrukturkan oleh bentuk kepercayaan yang sangat kontradiktif dan beraneka ragam.

Kesimpulan 
  1. Hasil dari analisis yang dilakukan menunjukkan bahwa terdapat beberapa kutipan yang memungkinkan untuk mewakili bentuk hibriditas dalam cerpen Nieke de Flinder karya Iksaka Banu dan mengarah pada hibriditas tokoh utama Abraham de Withart. Selain itu, sikap keterbelahan Abraham memungkinkan dirinya untuk membuktikan bahwa, identitas bukanlah sesuatu yang mutlak, melainkan selalu dalam posisi tarik ulur yang senantiasa direkonstruksi terus-menerus. Sebagai seorang hibrid, identitas Abraham pun tidak pernah mapan, seperti halnya dengan profesi yang ia geluti. Karena Hibriditas, merupakan salah satu proses silang budaya, bukan benturan budaya. Sehingga kemungkinan lain dalam analisis ini adalah dinamika pembentukan identitas pada Abraham belum atau tak pernah selesai.



Daftar Pustaka

Bhaba, Homi. K. 2007. The Location of Culture. London, New York: Routladge
Chrysostomos E, Leonard. 2012. Signifikansi Teori Pemikiran Homi Bhaba: Sebuah Pengantar Teori Pascakolonial. Konferensi Paper.  https://www.researchgate.net/publication/321713763
Faruk, 2007. Belenggu Pasca-Kolonial Hegemoni dan Resistemsi dalam Sastra Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Pustaka Laman
                       Wikipedia. 2018. https://id.m.wikipedia.org/wiki/Betaviaasch_Nieuwsblad. Diakses pada 25 Oktober 2018 pukul 17.53.
https//poskolonialisme.wordpress.com/2013/02/02/teori-pascakolonialisme-homi-k-Bhaba-ontologi-dan-epistimologinya/. Diakses pada 24 Oktober 2018, pukul 19:00



Read more...

Rabu, 23 Januari 2019

Dominasi, Kompetisi, dan Eksploitasi dalam Wacana Pendidikan Pada Film 3 Idiots Karya Rajkumar Hirani (Analisis Post-strukturalisme)

0 komentar



Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap bagaimana wacana mengenai dominasi dan kompetisi dalam pendidikan di India diproduksi dan dipertentangkan dalam sebuah film fenomenal berjudul 3 Idiots garapan Rajkumar Hirani. Film yang diadaptasi dari novel Five Point Someone karya Chettan Baghat ini unik karena berani mengusung tema yang cukup sensitif di India, yakni mengupas praktik nyata sistem pendidikan di negara tersebut. Melalui 3 Idiots, Rajkumar Hirani menegaskan kembali tentang tidak adanya demokrasi dalam pendidikan di India. Penelitian ini mengaplikasikan teori dan prosedur analisis tatanan wacana Michel Foucault berupa kondisi aplikasi yang mencakup; masyarakat wacana, doktrin, dan apropriasi sosial wacana. Inti analisis Foucault mengarah ke kontrol wacana. Hasil dalam penelitian ini menemukan bahwa ada upaya-upaya bagaimana wacana pendidikan dibentuk dan dikontrol.
Kata Kunci: Post-strukturalis, Wacana Pendidikan, Foucault. 3 Idiots.
     Pendahuluan
       Tidak banyak yang mengetahui kapan istilah pendidikan mulai dikenal manusia. Namun yang pasti, proses pendidikan telah menjadi bagian kehidupan manusia sejak masyarakat belum mengenal tulisan (jaman prasejarah, pramodern). Pada masa itu, proses pendidikan berlangsung secara alamiah, sederhana, tanpa disadari, serta dilakukan antargenerasi: dari orang tua kepada anak-anak mereka (Haralambos & Holborn, 2004). Praktik dan kritik terhadap sistem pendidikan pun telah lama menjadi bagian dari proses berkembangnya pendidikan. Praktik maupun kritik tersebut tersaji dalam berbagai media maupun karya. Tulisan ini akan menganalisis salah satu karya sastra dalam bentuk film yang dengan apik dan cerdas mengkritik sistem pendidikan di negara India. Film tersebut berjudul 3 Idiots, garapan Rajkumar Hirani.
      Film 3 Idiots merupakan film yang diadaptasi dari novel Five Point Someone karya Chetan Bhagat. Film ini pertama kali ditayangkan di India pada Desember 2009 dengan tiga tokoh sentral yaitu Rancho, Farhan dan Raju. Mereka adalah mahasiswa di Imperial College of Engineering (ICE), salah satu kampus paling bergengsi di India yang memiliki iming-iming lulusannya mampu bersaing di perusahaan ternama dunia. 3 Idiots merupakan film yang unik dan berbeda karena berani mengusung tema yang cukup sensitif di India yaitu sistem pendidikan. Meski disuguhkan dalam bentuk komedi dan drama, film bernada kritis ini seolah-olah mengupas praktik nyata sistem pendidikan di India –dan sangat mungkin terjadi juga di negara Indonesia– yakni sistem yang memicu mahasiswa hanya untuk sekedar mendapatkan nilai bagus-lulus-kerja-kaya tanpa mempedulikan potensi lain yang ada dalam dirinya.
             Melalui 3 Idiots, Rajkumar Hirani menegaskan kembali apa yang ditulis Chetan Bhagat dalam novel Five Point Someone tentang tidak adanya demokrasi dalam pendidikan di India. Tema dan pembahasan ini cukup menarik dan relevan dengan problem pendidikan di Indonesia. karena praktik dalam pendidikan di Indonesia sendiri saat ini masih mencari bentuk atau metode yang paling tepat. Sejak merdeka, sistem pendidikan di Indonesia sudah beberapa kali mengalami perubahan. Setiap pergantian pemerintahan selalu disertai dengan pergantian kebijakan pendidikan, teurtama kebijakan mengenai kurikulum dan standardisasi penilaian untuk siswa.
            Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori post-struktural serta dikaitkan dengan teori dan metode analisis wacana Michel Foucault. Post-strutural menekan­kan keseluruhan relasi antara ber­bagai unsur teks, memandang kritik sastra ha­rus berpusat pada karya sastra itu sendiri, tanpa harus memper­ha­tikan sastrawan sebagai pen­citra dan pembaca sebagai penik­mat. Postrukturalisme mengkaji makna tidak hanya terbatas pada kekuatan struktur, tetapi dapat dikaitkan dengan sesuatu yang berada di luar struktur. Jaringan-jaringan makna dalam teks juga bisa rumit yang memungkinkan pembaca berspekulasi tentang makna, karena makna tidak tunggal melainkan bersifat plural, makna tidak tetap melainkan terus berkembang. Dengan begitu, kritik sastra ti­dak tergantung dari aspek eks­ternal karya sastra tersebut. Tugas utama dari teori post-struktualis adalah memahami teks. Sebuah teks ditulis bukan untuk pembaca tertentu, melainkan kepada siapapun yang bisa membacanya, tidak terbatas pada ruang dan waktu.
               Sejak pertengahan 1970-an, lembaga-lembaga pendidikan konservatif mulai berbenah dan mengubah pola pendidikan mereka menuju praktik pendidikan kritis dengan berlandaskan pada karya filosofis Michel Foucault (Dussel, 2010). Foucault telah mengembangkan sebuah pemahaman mengenai subjek pendidikan –siswa, guru dan sebagainya– dengan menggunakan istilah subjektivitas sejarah dan investigasi genealogi yang memungkinkan para teoretikus pendidikan dapat memahami dampak pendidikan pengajaran sebagai sebuah disiplin dan praktik (Olssen, 1999; Peters and Basley, 2007). Pemikiran Foucault berupaya menjembatani penjelasan teori klasik dan modern mengenai praktik pendidikan (Olssen, 199); menyatukan masalah ideologi dengan masalah praktis pendidikan; menjelaskan masalah pendidikan dengan institusional dan individual (Marshall, 2007). Berdasarkan karyanya, Foucault dinilai telah menaruh perhatian besar pada masalah pendidikan di masyarakat dengan mengaitkan realitas sejarah untuk menjelaskan masalah perubahan praktik pendidikan di masyarakat.
            Foucault juga menjelaskan bahwa sekolah dalam masyarakat modern telah mengotak-kotakkan pengetahuan dalam beberapa kategori yang “saling terpisah”. Mereka memisahkan subjek, mata pelajaran, jurusan atau program studi, yang kemudian berdampak pada masa depan siswa (Martono, 2014). Sebelumnya sekolah dalam masyarakat modern juga telah menerapkan sistem seleksi untuk memilih dan memilah individu mana yang layak menikmati pendidikan di tempat mereka. Agar individu dapat menikmati fasilitas pendidikan di sekolah tertentu, mereka harus memenuhi serangkaian kriteria yang telah ditentukan sekolah. Singkatnya, mereka bukan belajar sesuai kehendak melainkan sesuai kelayakan. Mekanisme seleksi masuk sekolah menjadi mekanisme bekerjanya kekuasaan dalam pendidikan.
     Inti analisis Foucault mengarah ke kontrol wacana. Menurut Foucault, ada tiga prosedur dalam menganalisis tatanan wacana. Prosedur pertama, sistem eksklusi eksternal. Dalam prosedur produksi wacana ini terdapat pelarangan, pemilahan antara nalar dan kegilaan, serta gagasan mengenai yang benar dan salah. Dalam pelarangan sendiri ada tiga jenis larangan, yaitu larangan objektif, larangan kontekstual, dan larangan subjektif. Prosedur kedua adalah prosedur-prosedur internal yang mencakup komentar, pengarang, dan disiplin. Pengarang di sini mengacu pada otoritas yang menentukan kebenaran. Pengarang dapat juga berarti asal muasal wacana yang benar. Prosedur terakhir adalah kondisi aplikasi. Yang termasuk dalam kelompok prosedur ini digunakan untuk menentukan syarat penggunaan tatanan wacana, untuk memaksakan sejumlah aturan pada individu-individu yang memegangnya, dengan demikian mampu mengizinkan setiap orang untuk mempunyai akses pada wacana tersebut (Faruk, 2012: 247).
          Bisa disimpulkan bahwa dalam kondisi aplikasi inilah wacana dikontrol karena tidak semua wilayah wacana sama terbuka dan dapat dimasuki. Di lain pihak, sebagian besar wilayah itu terlarang, sedangkan yang lainnya terbuka untuk hampir semua orang, mengabaikan siapa subjek yang berbicara, tanpa pembatasan lebih dahulu (Faruk, 2012: 248).  Misalnya Wacana Pendidikan di Indonesia, anak masuk SD dengan batas minimal umur 6-7 tahun, ada sistem UAN serta standar minimal dan maksimal nilai yang secara otomatis standar tersebut akan menyingkirkan siswa yang tak mampu secara akademik, puncaknya adalah, ada lembaga yang memproduksi serta mengontrol berbagai wacana tersebut, seperti misalnya Kemendikbud, sekolah-sekolah ataupun universias-universitas. 
   Dalam penelitian ini bentuk-bentuk pembatasan dalam kondisi aplikasi meliputi; masyarakat wacana, doktrin, dan apropriasi sosial wacana. Masyarakat wacana berfungsi untuk menghasilkan wacana, tapi sekaligus untuk membuatnya beredar hanya dalam sebuah ruang yang tertutup. Doktrin cenderung untuk disebarkan dan hanya berpegang pada wacana yang sama. Sedangkan apropriasi sosial wacana merupakan penyisihan sosial terhadap wacana, bersama-sama dengan pengetahuan dan kuasa-kuasa yang dibawanya, dimodifikasi dan dipertahankan dengan cara politis oleh setiap sistem pendidikan.

Wacana pendidikan dalam 3 Idiots
            Bahasa adalah bagian wacana (Garrity, 2010) yang  merefleksikan  perbedaan bentuk  budaya,  kebiasaan,  adat,  dan  pengetahuan.  Selanjutnya, wacana digunakan untuk melegitimasi kekuasaan tertentu. Wacana menyediakan kondisi materiil ketika individu diproduksi –baik sebagai subjek atau sebagai objek–. Ini merupakan bentuk kekuasaan yang dilaksanakan melalui wacana hukum, kedokteran, psikologi dan pendidikan (Codd, 1988). Wacana dipengaruhi pengetahuan dan kekuasaan secara bersama-sama. Kekuasaan  menentukan pengetahuan  apa  saja  yang  dianggap  sebagai  sebuah  kebenaran,  kenormalan,  sehingga  ia  dapat menjadi  wacana  umum. Wacana  membantu  menjelaskan mekanisme  distribusi  kekuasaan,  sehingga dapat menjadi  alat  menyebarkan dan  mewujudkan  kekuasaan (Martono, 2014).
      Akmal Jaya juga menjelaskan dalam tulisannya bahwa wacana tidak dibiarkan begitu saja, tetapi ada yang berperan mengendalikan atau bahkan menguasainya. Sehingga, wacana sering diasosiasikan dengan kekuasaan. Wacana memiliki kekuatan untuk mengopresi dan melawan. Praktik untuk melanggengkan sebuah wacana yaitu dengan regularitas. Regularitas yang dimaksud di sini berupa larangan. Seperti yang pernah Foucault sebutkan yaitu dalam prosedur produksi wacana adalah dengan eksklusi berupa larangan, yang meliputi tiga macam eksklusi eksternal yaitu: larangan objektif, larangan subjektif, dan larangan kontekstual (Faruk, 2012: 242).
     Dalam film 3 Idiots, sistem pendidikan menjadi suatu wacana yang dikontrol dengan doktrin dan kekuasaan serta dapat mempengaruhi banyak orang, lebih khususnya mempengarhi pelajar dan orangtua pelajar. Mengambil setting di salah satu universitas teknik ternama di India, Rajkumar Hiran menggambarkan sekaligus mengkritik pedas bagaimana sekolah-sekolah dan universitas di India menjadikan dominasi dan kompetasi bagian dari proses belajar. 3 Idiots merupakan salah satu karya yang menjelaskan tentang matinya demokrasi dalam pendidikan di India serta bagaimana wacana pendidikan menghegemoni pelajar.
Masyarakat Wacana
      Sudah menjadi pemahaman umum bahwa nilai education hanya sekedar nilai, gelar dan hasil. Seperti mayoritas masyarakat yang menganggap bahwa ‘sukses’ layak disematkan bagi pelajar dengan nilai tinggi, mampu mengalahkan rekan yang juga dalam hal ini bisa dikatakan saingan, puncaknya mampu diterima kerja di perusahaan ternama dengan nilai terbaiknya selama menempuh pendidikan. Atau pemahaman bahwa education hanya sekedar nilai, gelar dan hasil. Di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia sendiri, muncul anggapan bahwa untuk menjadi sukses, seseorang harus selalu mendapat nilai bagus dan menjadi yang terbaik di sekolah. Dengan demikian, pekerjaan akan mudah didapat dan kekayaan akan ada digenggaman. Dalam masyarakat wacana, ada wacana tertentu yang dihasilkan dan beredar secara tertutup di kalangan orangtua yang memiliki anak seorang pelajar atau mahasiswa. Pada kenyataannya, sebagian yang lain akan sadar bahwa wacana dan presepsi tentang ‘sukses’ itu kurang tepat, dan hal itulah yang ingin disampaikan oleh film 3 Idiots. Ketiga tokoh dalam film yang tercatat sebagai mahasiswa di Imperial College of Engineering (ICE) sedikit banyak menyindir salah satu universitas ternama di India yakni IIT (Indian Institutes of Technology) yang 25% lulusannya bekerja di Amerika, terutama di perusahaan IT terkemuka di dunia dan sisanya tersebar di belahan dunia lain, termasuk di India sendiri.
Berikut salah satu kutipan dalam film menggambarkan seorang ayah yang berambisi anaknya menjadi insinyur karena masyarakat setempat sangat memempercayai bahka kehidupan insinyur menjadi jaminan kebahagian dan kesuksesan dalam keluarga.
“Jika tidak menjadi insinyur, apa yang akan kau dapatkan di dalam hutan, (saat kau menjadi fotografer alam liar)? Dan saat kau melihat teman-temanmu sudah bisa membeli mobil dan rumah, saat itulah kau akan mengutuk dirimu sendiri.” (3 Idiots; 2009).

  Doktrin
           Pada doktrin, cenderung untuk disebarkan dan hanya berpegang pada wacana yang sama. Film 3 Idiots mengacu pada nilai, norma, sistem pendidikan dan sosial masyarakat India. Dalam film ini, salah satu universitas ternama (ICE) dijalankan dengan sangat ortodoks oleh Rektor. Berbagai doktrin pendidikan pun lahir di kampus tersebut, misalnya doktrin “kompetisi dan bersaing” ditanamkan sedemikian rupa sehingga mahasiswa hanya mengejar nilai dan gelar. Sistem pendidikan hanya menguntungkan mereka yang benar-benar kompetitif dan pintar, lalu melumat habis mereka yang sebenarnya cerdas, tapi tidak ditangani dengan sistem yang baik. Di sisi lain, sistem yang hanya mementingkan kompetisi akan membuat mahasiswa tidak pernah berpikir kreatif, karena takut bahwa hasil karyanya tidak sesuai dengan yang diinginkan dosen, institusi atau sistem itu sendiri.
             Doktrin selanjutnya yang menjadi bagian dalam sistem pendidikan adalah belajar taklid pada isi buku dengan cara menghafal. Ketika seorang pengajar melontarkan sebuah pertanyaan kepada murid atau mahasiswa misalnya tentang definisi sebuah istilah, murid dan mahasiswa hanya akan kalut berlomba mencari jawaban paling benar dan paling cepat. Ibarat singa sirkus yang bisa duduk di kursi, hanya karena takut dicambuk oleh pelatihnya, namun sebenarnya kita hanya bisa menyebutnya singa tersebut terlatih, bukan terdidik. Apa manfaat metode seperti ini, sekali pun siswa yang bisa menjawab cepat dan tepat, tak ada pengetahuan baru yang meningkat, yang ada hanya tekanan. Belajar dengan sistem hafalan ibarat burung Beo yang hanya bisa menirukan persis ucapan orang tapi sama sekali tak paham apa yang diucapkan. Sayangnya nyaris semua pendidikan di sekolah maupun universitas begitu adanya.
           Berikut merupakan beberapa hal terkait doktrin dan praktik-praktik sistem pendidikan yang digambarkan dalam film 3 Idiots karya Rajkumar Hirani;
a.      Dominasi
            Kekuasaan merupakan unsur dalam pendidikan yang eksistensinya dapat bersifat nyata maupun tidak nyata, dapat disadari maupun tidak disadari. Kekuasaan mewujudkan tujuannya dengan berbagai cara. Bordieou menyebutkan bahwa kelas dominan menggunakan sekolah sebagai tempat melanggengkan kekuasaan dan mempertahankan posisinya atau mendominasi tatanan kekuasaannya. Dalam praktiknya, guru atau dosen juga dapat diposisikan sebagai  unsur  kekuasaan  yang berhubungan  secara  langsung  dengan  siswa  karena mereka lah  yang  memberikan  penilaian  secara langsung di sekolah maupun universitas. Kekuasaan yang membentuk wacana dalam pendidikan memiliki efek yang luas dan hebat, tak hanya bagi pelajar tapi juga bagi orangtua yang membebani anak-anak mereka dengan ketakutan, tekanan dan desakan dalam pendidikan
             Dalam film 3 Idiots, kampus ICE terdapat sosok diktator yang mengatur semua sistem dalam kampus. Viru Sahastrabuddhe (para mahasiswa biasa menjulikinya Virus), adalah seorang rektor yang menjalankan kampus bak perusahaan atau industri pendidikan. Di kampus, mereka tidak membicarakan penemuan atau gagasan baru, mereka hanya berbicara peringkat, peluang kerja, atau paling banter diterima kerja di Amerika Serikat. Mereka hanya tertarik dengan bagaimana cara memperoleh nilai yang sempurna. Para pengajar tak pernah mendidik mahasiswa untuk menjadi insinyur handal.
b.      Kompetisi
      Kekuasaan menetapkan sejumlah standarisasi penilaian di sekolah yang digunakan sebagai alat untuk mengklasifikasikan siswa dalam berbagai kategori menurut tingkat kecerdasannya (Liasidou, 2010).  Foucault tidak eksplisit menyebutkan siapa  pihak  yang  berkuasa  dan siapa yang dikuasai.  Pada intinya Foucault menyatakan bahwa siapapun dapat memiliki  kekuasaan  karena kekuasaan bersifat “dapat dipindahkan”. Kekuasaan juga dapat muncul dalam mekanisme pengawasan terhadap individu di sekolah secara langsung maupun  tersembunyi.  Standarisasi  dalam  pendidikan  juga  merupakan  wujud kekuasaan  yang  mampu  membedakan  setiap  individu  dalam  beberapa  kategori. Standarisasi  ini dikolaborasikan  dengan  sistem  penilaian,  sehingga  sekolah  mampu  membedakan  siswa  dalam kategori pintar-bodoh, jenius-idiot dan pengategorian lainnya. Lalu menjadikan kompetesi, bagian dari proses pendidikan.  
          Film 3 Idiots garapan Rajkumar Hirani merupakan salah satu karya yang melihat kekuasaan dijalankan dengan tujuan untuk mengawetkan wacana kompetatif dalam pendidikan. Melalui Prof. Viru yang merepresentasikan kekuasaan selalu memberi wejangan kepada mahasiswa baru di tahun pertama mereka tentang pentingnya kompetisi dalam pendidikan.

“Burung Koel tidak pernah membuat sarangnya sendiri. Mereka menaruh telur-telurnya di sarang burung lain, dan saat anak mereka menetas, apa yang dilakukannya pertama kali? Ia menendang telur-telur lain keluar dari sarang. Kompetesi berakhir! Hidup dimulai dengan ‘membunuh’. Itulah alam, bersaing atau mati. Kalian semua bagaikan burung Koel dan mereka semua (Viru membuang tumpukan kertas pelamar-pelamar universitas tersebut yang gagal saat mendaftar) adalah telur-telur yang kalian singkirkan untuk diterima di ICE.”  (3 Idiots; 2009).

          Pada kenyataannya, sistem yang hanya mementingkan kompetisi akan membuat mahasiswa tidak pernah berpikir kreatif. Hal ini terjadi karena mereka takut hasil karyanya tidak sesuai dengan yang diinginkan dosen atau institusi.
c.       Eksploitasi
Selain itu, standar prestasi juga menjadi wacana lain dalam pendidikan India. Standar norma di sekolah diwujudkan dalam “standar prestasi”. Menurut Martono, kemampuan, kecerdasan, atau prestasi siswa akan- distandardisasi, yang kemudian standardisasi ini menjadi bahan  perbandingan prestasi  antarsiswa. Satu lagi wacana pendidikan di India dan masih berlaku juga di negara-negara lain –yang entah tujuannya apa– sehingga mengeksploitasi nilai dan kelulusan mahasiswanya di papan pengumuman menjadi hal yang wajar. Kutipan dalam film berikut, cukup menyentil.
“Semestinya hasil ujian bukanlah sebuah pengumuman. Mengapa kita memperlihatkan kelemahan orang di muka umum? Jika hemoglobin di darah kita ternyata rendah, apa yang dilakukan dokter, memberimu obat atau mengumumkannya di TV?” (3 Idiots, 2009).

Selain doktrin kompetisi, dengan kekuasaan dan statusnya sebagai yang tertinggi dalam tatanan universitas tersebut, Viru juga mendoktrin mahasiswanya untuk selalu menjadi yang pertama.
“Neil Armstrong adalah orang pertama yang menginjakkan kaki di bulan. Tapi siapakah yang kedua? Jangan sia-siakan waktumu untuk mencari tahu jawabannya, karena itu tidak penting! Tak akan ada orang yang mencoba mengingat ‘Orang Kedua’!” (3 Idiots; 2009).

Apropiasi Sosial Wacana
  Apropriasi sosial wacana mengacu pada setiap sistem pendidikan yang menyisihkan wacana secara sosial, bersama-sama dengan pengetahuan dan kuasa-kuasa yang dibawanya, dimodifikasi, dan dipertahankan dengan cara politis. Di India maupun di Indonesia sendiri sistem pendidikan memiliki banyak lapisan yang ke semuanya merupakan apropriasi sosial wacana. Menurut Foucault (1975), sebagaimana yang dikutip oleh Martono (2014: 86) Foucault mendefinisikan pendisiplinan sebagai sebuah mekanisme pembentukan perilaku individu yang taat dan patuh pada serangkaian norma melalui sistem kontrol atau pengawasan terhadap individu.
   Dengan kata lain, pendisiplinan merupakan suatu bentuk mekanisme kekuasaan pada masyarakat modern untuk membentuk individu yang terampil dan berguna. Dalam mendefinisikan tentang disiplin, perlu dibedakan antara kedisiplinan dan norma yang mengatur masyarakat. Jika norma dibentuk sesuai kesepakatan masyarakat untuk memperbandingkan antara satu individu dengan individu lainnya, maka disiplin berfungsi untuk mengendalikan dan mengatur individu agar bertindak sesuai dengan norma pada masyarakat.
Agar norma dan disiplin dapat berfungsi dalam kehidupan masyarakat, Foucault merumuskan tiga bentuk mekanisme pendisiplinan pada masyarakat yang meliputi: pengawasan secara hierarkis, standardisasi nilai, dan sistem ujian atau evaluasi. Ketiga bentuk mekanisme pendisiplinan ini yang juga diterapkan pada sekolah. Foucault mendefinisikan mekanisme pendisiplinan di sekolah sebagai seperangkat wacana, norma, dan rutinitas yang membentuk cara ketika bidang-bidang yang terkait dalam sekolah (maupun universitas) menjadi mekanisme yang mengatur sistem kerja diri mereka sendiri (Martono, 2014: 107). Bentuk pengawasan secara hierarkis terlihat dari bentuk bangunan sekolah yang dibuat seperti penjara dengan menempatkan lapangan di tengah bangunan sekolah. Bentuk bangunan sekolah inilah yang dikenal sebagai istilah panopticon[1]. Hal ini bertujuan untuk mempermudah pengawasan siswa selama mengikuti proses pembelajaran di sekolah.
     Selain itu, struktur organisasi sekolah yang disusun secara hierarkis menunjukkan adanya bentuk pengawasan dalam mekanisme pendisiplinan di sekolah. Mekanisme standardisasi nilai di sekolah diwujudkan dalam seperangkat tata tertib yang dibuat sekolah. Sementara itu, sistem ujian di sekolah dapat merepresentasikan praktik pengawasan sekaligus juga sebagai standar nilai bagi siswa selama bersekolah. Siswa dihadapkan pada situasi ujian yang menegangkan. Pengawasan dilakukan selama proses ujian berlangsung untuk menciptakan suasana disiplin di kelas. Siswa yang berhasil dalam ujian akan mendapatkan ganjaran yang sudah ditetapkan sebelumnya. Sebaliknya, siswa yang gagal dalam ujian akan mendapatkan hukuman yang sesuai dengan tingkat kegagalan tersebut.
      Dalam film 3 Idiots digambarkan pula bagaimana mahasiswa-mahasiswa semester akhir yang telah melaksanakan wawancara kerja di berbagai perusahaan, masih sangat  tergantung dengan nilai dan hasil kelulusan universitas. Pasalnya, mahasiswa yang sudah diterima di sebuah perusahaan dengan posisi terbaik sekalipun tidak akan bisa melanjutkan kehidupan dan karirnya sebelum dinyatakan lulus di tahap akhir ujian.  Jika ada pihak dominan yang menggunakan kesempatan tersebut untuk memainkan peran kuasanya, maka akan banyak pelajar yang menjadi korban dari tatanan pendidikan seperti ini. Seperti dalam cuplikan film berikut.
Viru berkata pada salah satu mahasiswa yang sebelumnya telah berkali-kali membuat ulah dan masalah dengan dirinya… “Pekerjaan itu tak akan menjadi milikmu, sampai kau melewati ujian akhir. Dan sekarang aku sendiri yang akan menyiapkan (soal) ujianmu.” (3 Idiots; 2009)
 
Kesimpulan
     Pendidikan, sejak lama telah menjadi bagian kehidupan masyarakat. Praktik dan kritik terhadap sistem pendidikan pun telah lama menjadi bagian dari proses berkembangnya pendidikan. Praktik maupun kritik tersebut tersaji dalam berbagai media maupun karya, salah satunya pada film India berjudul 3 Idiots karya Rajkumar Hirani yang mengangkat tema tengang matinya demokrasi dalam sistem pendidikan. Hirani menegaskan kembali tentang tidak adanya demokrasi dalam pendidikan di India, yang sbenarnya juga relevan dengan keadaan pendidikan di beberapa negara termasuk Indonesia. Penelitian ini mengaplikasikan teori dan prosedur analisis tatanan wacana Foucault yang berupa kondisi aplikasi, yang mencakup; masyarakat wacana, doktrin, dan apropriasi sosial wacana. Inti analisis Foucault mengarah ke kontrol wacana.
     Hasil penelitian ini menemukan bahwa ada upaya-upaya bagaimana wacana pendidikan dibentuk dan dikontrol. Beberapa hal terkait doktrin dan praktik-praktik sistem pendidikan yang dapat diungkapkan melalui bentuk-bentuk pembatasannya yang berupa masyarakat wacana, doktrin, dan apropriasi sosial wacanad. Doktrin yang digambarkan dalam film adalah; dominasi, kompetisi dan eksploitasi.

Daftar Pustaka



 Faruk. 2012. Metode Penelitian Sastra: Sebuah Penjelajahan Awal. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Hirani, Rajkumar. 3 Idiots. 2009. India: Vinod Chopra Production.  
                                   
Jaya, Akmal. 2016. Produksi, Distribusi, dan Kontestasi Wacana Tradisi dan Modernitas dalam Cerpen Leteh Karya Oki Rusmini. Jurnal Poetika Vol. IV No. 2, p.107-118.

Kutha Ratna, Nyoman. 2012. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra dari Strukturalisme hingga Postrukturalisme; Perspektif Wacana Naratif. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.

Martono Nanang, 2014. Sosiologi Pendidikan Michel Foucault: Pengetahuan, Kekuasaan, Disiplin, Hukuman dan Seksualitas. Rajawali Press; Jakarta.

Martono Nanang, 2014. Dominasi Kekuasaan Dalam Pendidikan: Tesis Bourdieu dan Foucault tentang Pendidikan. Jurnal Interaksi. Vol.8 (1), p.28-39.

Muslim Nuzul. 2014. Representasi Makna Persahabatan Dalam Film 3 Idiots (Analisis Semiotika Roland Barthes Mengenai Representasi Makna Persahabatan dalam Film 3 Idiots). Skripsi. Program Studi Ilmu Komunikasi Konsentrasi Humas. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Komputer Indonesia.

Pustaka Laman
Wikipedia. 2018. 3 Idiots. https://id.wikipedia.org/wiki/Three_Idiots. Diakses pada 14 Desember 2018 pukul 15.50.






[1] Pada awalnya panopticon adalah konsep bangunan penjara yang dirancang oleh filsuf Inggris dan teoritisi sosial Jeremy Bentham pada 1785. Konsep tersebut memungkinkan seorang pengawas untuk mengawasi (-option) semua (pan-) tahanan, tanpa dietahui / disadari oleh tahanan tersebut. Desain panopticon disebut oleh Michael Foucault dalam bukunya Discipline and Punish: The Birth of the Prison (1977).

Read more...

Urgensi Fathering (Peran Ayah) dalam Pengasuhan Anak

Secara umum tumbuh kembang anak yang maksimal akan terjadi jika pengasuhan yang benar berada langsung di tangan orangtua. Ayah dan ib...