Jenis karya sastra yang berkembang di masyarakat sangat beraneka
ragam, salah satunya adalah Cerita Rakyat yang dikenal secara luas oleh
masyarakat melalui lisan. Dewasa ini, masyarakat membudidayakan cerita-cerita
rakyat tersebut dengan berbagai cara yang sangat bervariasi, menarik, apik, dan
unik, melalui seni-seni pertunjukan seperti; wayang, seni tari, sanggar tuturan
(dahulu sanggar tuturan direkam dan ditayangkan melalui radio atau kaset-kaset
audio, namun kini bisa mudah diakses di Youtube), sosio-drama, drama musikal,
opera, teater, dan lain sebagainya. Pada tulisan ini hanya akan membahas salah
satu seni pertunjukan sosio-drama yang diperankan dengan cukup inovatif,
kreatif, nyentrik dan lucu oleh adik-adik SMA dari Semarang.
Salah satu cerita rakyat yang pernah berkembang di daerah Semarang
– Jawa Tengah dan diyakini masyarakat setempat pernah terjadi, adalah cerita Rawa
Pening. Saat ini Rawa Pening merupakan daerah rawa yang menjadi satu dari
sekian banyak objek wisata menarik di Jawa Tengah. Area tersebut tidak hanya
menjadi ekosistem enceng gondok, namun juga menawarkan keindahan berbalut mitos
dan cerita mistis yang kental. Cerita Rawa Pening disebarkan oleh
masyarakat luas melalui lisan dan dilestarikan melalui seni-seni pertunjukan
ataupun cara-cara lain yang kekinian, seperti tari, pentas drama, animasi 2D
yang akan lebih memikat anak-anak kecil, atau yang tak kalah menarik seperti
pada sosio-drama yang diperankan adik-adik SMA 11 Semarang dalam acara tahunan
‘Kearifan Budaya Lokal Indonesia’ pada 2018 lalu.
Meski bersumber dari cerita yang sama, namun selalu ada perbedaan,
modifikasi, maupun imrpovisasi dari setiap seni pertunjukan yang dilakonkan
masyarakat umum. Misalnya pada sosio-drama Rawa Pening yang diperankan
adik-adik SMA 11 Semarang, cerita mengalir begitu renyah penuh canda tawa, kontras
dengan kisah asli yang beredar bahwa Rawa Pening sama sekali bukan
cerita humor yang akan mengocak perut penikmat cerita. Sebaliknya, Rawa
Pening termasuk kisah tragis nan mistis. Namun dengan kreatifitas khas
anak-anak SMA, Rawa Pening berubah menjadi kisah lucu, menghibur, dengan
tetap memberikan hikmah maupun ajaran moral yang dapat dipetik oleh penonton /
penikmat seni pertunjukan. Mereka mampu memberi bumbu, ramuan, gaya, dan
imajinasi baru yang diaplikasikan ke cerita lama (kuno). Percakapan-percakapan
kekinian khas generasi milenial pun tak luput dari adegan-adegan yang mereka
perankan. Adegan yang seharusnya penuh haru berubah seketika menjadi adegan
lucu. Misalnya pada percakapan antara Nyai Latung yang menolong tokoh utama
Baro Klinting dari kelaparan dan bullying warga setempat berikut ini;
Nyai Latung : “Koe pengene mangan opo?” (Kamu maunya makan apa?)
Nyai Latung : “Koe pengene mangan opo?” (Kamu maunya makan apa?)
Baro Klinting : “Yo lek
iso aku njaluk opo ae sing kekinian seko Eropa, Mbah. Soale aku
alergi lek mangan panganan Jowo koyo Gudeg ngono kui.”
(Ya kalau bisa aku minta makanan yang kekinian dari Eropa, Nek.
Soalnya aku alergi makan makanan Jawa seperti Gudeg.)
alergi lek mangan panganan Jowo koyo Gudeg ngono kui.”
(Ya kalau bisa aku minta makanan yang kekinian dari Eropa, Nek.
Soalnya aku alergi makan makanan Jawa seperti Gudeg.)
Nyai Latung : “Mbahe
enek panganan, tapi ora Go-Food. Aku teko dewe. Iki enek
menu
double cheese bulgogi...” (Nenek ada makanan, tapi nggak
Go-Food. Nenek datang sendiri. Ini ada menu bulgogi double cheese…)
Go-Food. Nenek datang sendiri. Ini ada menu bulgogi double cheese…)
Masih ada sederet adegan-adegan lain yang tak kalah seru dan lucu.
Mereka memerankan cerita klasik dengan gaya modern, serta memanfatkan
istilah-istilah yang sedang viral, bahkan alur cerita juga sedikit diplesetkan
ala-ala sinetron remaja yang sedang hits di pertelevisian Indonesia.
Secara umum salah satu ciri Cerita Rakyat yang termasuk sastra
lisan, adalah tak diketahui pasti mana versi yang asli. Ada banyak versi cerita
dengan tokoh atau tempat kejadian yang sama, sehingga perbedaan alur dan ending
dari cerita dalam seni pertunjukan pun tak dapat dihindari. Misalnya pada
cerita Rawa Pening yang ditulis Tri Wahyuni dan diterbitkan oleh Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, kisah Rawa Pening ditutup rapi dan
apik dengan Baro Klinting berhasil lepas dari
kutukan sebagai manusia setengah naga lalu menemui kedua orangtuanya, Ki Hajar
Salokantara dan Endang Saraswati. Namun pada sosio-drama yang diperankan
adik-adik SMA tersebut, kisah berakhir begitu saja saat banjir dan air bah melanda
desa setempat. Banjir dan air bah yang sejatinya musibah mengerikan baik dalam
cerita maupun dalam kehidupan nyata, pada sosio-drama tersebut justru menjadi closing
cerita yang rame dan penuh tawa.
Daftar Pustaka
Wahyuni, Tri. 2016. Legenda Rawa Pening Cerita Rakyat Dari Jawa
Tengah. Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.
Pustaka Laman
http://sanggar-cerita.singoentertainment.web.id/id3/1831-1717/Sanggar Cerita_163244_sanggar-cerita-singoentertainment.html Diakses pada 11 Maret 2019 pukul 09.08.
http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/ Diakses pada 11 Maret 2019 pukul 09.10.
0 komentar:
Posting Komentar