Banner

Buku di tangan kiri. Kopi di tangan kanan. Mie, roti, bakwan kawi, di tangan siapa???

 

Senin, 22 Juli 2019

Improvisasi Seni Pertunjukan Sosio-Drama 'Rawa Pening' SMA-N 11 Semarang

0 komentar

Jenis karya sastra yang berkembang di masyarakat sangat beraneka ragam, salah satunya adalah Cerita Rakyat yang dikenal secara luas oleh masyarakat melalui lisan. Dewasa ini, masyarakat membudidayakan cerita-cerita rakyat tersebut dengan berbagai cara yang sangat bervariasi, menarik, apik, dan unik, melalui seni-seni pertunjukan seperti; wayang, seni tari, sanggar tuturan (dahulu sanggar tuturan direkam dan ditayangkan melalui radio atau kaset-kaset audio, namun kini bisa mudah diakses di Youtube), sosio-drama, drama musikal, opera, teater, dan lain sebagainya. Pada tulisan ini hanya akan membahas salah satu seni pertunjukan sosio-drama yang diperankan dengan cukup inovatif, kreatif, nyentrik dan lucu oleh adik-adik SMA dari Semarang.


Salah satu cerita rakyat yang pernah berkembang di daerah Semarang – Jawa Tengah dan diyakini masyarakat setempat pernah terjadi, adalah cerita Rawa Pening. Saat ini Rawa Pening merupakan daerah rawa yang menjadi satu dari sekian banyak objek wisata menarik di Jawa Tengah. Area tersebut tidak hanya menjadi ekosistem enceng gondok, namun juga menawarkan keindahan berbalut mitos dan cerita mistis yang kental. Cerita Rawa Pening disebarkan oleh masyarakat luas melalui lisan dan dilestarikan melalui seni-seni pertunjukan ataupun cara-cara lain yang kekinian, seperti tari, pentas drama, animasi 2D yang akan lebih memikat anak-anak kecil, atau yang tak kalah menarik seperti pada sosio-drama yang diperankan adik-adik SMA 11 Semarang dalam acara tahunan ‘Kearifan Budaya Lokal Indonesia’ pada 2018 lalu.

Meski bersumber dari cerita yang sama, namun selalu ada perbedaan, modifikasi, maupun imrpovisasi dari setiap seni pertunjukan yang dilakonkan masyarakat umum. Misalnya pada sosio-drama Rawa Pening yang diperankan adik-adik SMA 11 Semarang, cerita mengalir begitu renyah penuh canda tawa, kontras dengan kisah asli yang beredar bahwa Rawa Pening sama sekali bukan cerita humor yang akan mengocak perut penikmat cerita. Sebaliknya, Rawa Pening termasuk kisah tragis nan mistis. Namun dengan kreatifitas khas anak-anak SMA, Rawa Pening berubah menjadi kisah lucu, menghibur, dengan tetap memberikan hikmah maupun ajaran moral yang dapat dipetik oleh penonton / penikmat seni pertunjukan. Mereka mampu memberi bumbu, ramuan, gaya, dan imajinasi baru yang diaplikasikan ke cerita lama (kuno). Percakapan-percakapan kekinian khas generasi milenial pun tak luput dari adegan-adegan yang mereka perankan. Adegan yang seharusnya penuh haru berubah seketika menjadi adegan lucu. Misalnya pada percakapan antara Nyai Latung yang menolong tokoh utama Baro Klinting dari kelaparan dan bullying warga setempat berikut ini;
Nyai Latung     : “Koe pengene mangan opo?” (Kamu maunya makan apa?)
Baro Klinting   : “Yo lek iso aku njaluk opo ae sing kekinian seko Eropa, Mbah. Soale aku
                        alergi lek mangan panganan Jowo koyo Gudeg ngono kui.”

                        (Ya kalau bisa aku minta makanan yang kekinian dari Eropa, Nek.
                         Soalnya aku alergi makan makanan Jawa seperti Gudeg.)
Nyai Latung     : “Mbahe enek panganan, tapi ora Go-Food. Aku teko dewe. Iki enek
                        menu double cheese bulgogi...” (Nenek ada makanan, tapi nggak
                         Go-Food. Nenek datang sendiri. Ini ada menu bulgogi double cheese…)

Masih ada sederet adegan-adegan lain yang tak kalah seru dan lucu. Mereka memerankan cerita klasik dengan gaya modern, serta memanfatkan istilah-istilah yang sedang viral, bahkan alur cerita juga sedikit diplesetkan ala-ala sinetron remaja yang sedang hits di pertelevisian Indonesia.

Secara umum salah satu ciri Cerita Rakyat yang termasuk sastra lisan, adalah tak diketahui pasti mana versi yang asli. Ada banyak versi cerita dengan tokoh atau tempat kejadian yang sama, sehingga perbedaan alur dan ending dari cerita dalam seni pertunjukan pun tak dapat dihindari. Misalnya pada cerita Rawa Pening yang ditulis Tri Wahyuni dan diterbitkan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, kisah Rawa Pening ditutup rapi dan apik dengan Baro Klinting berhasil lepas dari kutukan sebagai manusia setengah naga lalu menemui kedua orangtuanya, Ki Hajar Salokantara dan Endang Saraswati. Namun pada sosio-drama yang diperankan adik-adik SMA tersebut, kisah berakhir begitu saja saat banjir dan air bah melanda desa setempat. Banjir dan air bah yang sejatinya musibah mengerikan baik dalam cerita maupun dalam kehidupan nyata, pada sosio-drama tersebut justru menjadi closing cerita yang rame dan penuh tawa.




Daftar Pustaka
Wahyuni, Tri. 2016. Legenda Rawa Pening Cerita Rakyat Dari Jawa Tengah. Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.
Pustaka Laman
https://id.wikipedia.org/wiki/Seni_pertunjukan Diakses pada 11 Maret 2019 pukul 08.55.


http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/ Diakses pada 11 Maret 2019 pukul 09.10.

https://www.youtube.com/watch?v=jt5DkT3jSn4&t=342s Diakses pada 11 Maret pukul 11.00

0 komentar:

Posting Komentar

Urgensi Fathering (Peran Ayah) dalam Pengasuhan Anak

Secara umum tumbuh kembang anak yang maksimal akan terjadi jika pengasuhan yang benar berada langsung di tangan orangtua. Ayah dan ib...