Abstrak
Penelitian
ini bertujuan untuk mengungkap bagaimana wacana mengenai dominasi dan kompetisi
dalam pendidikan di India diproduksi dan dipertentangkan dalam sebuah film
fenomenal berjudul 3 Idiots garapan Rajkumar
Hirani. Film yang diadaptasi dari novel Five
Point Someone karya Chettan Baghat ini unik karena berani mengusung tema yang cukup sensitif di
India, yakni mengupas praktik nyata sistem
pendidikan di negara tersebut. Melalui 3 Idiots, Rajkumar Hirani
menegaskan kembali tentang tidak adanya demokrasi dalam pendidikan di
India. Penelitian ini mengaplikasikan teori dan prosedur analisis tatanan
wacana Michel Foucault berupa kondisi aplikasi yang mencakup; masyarakat wacana,
doktrin, dan apropriasi sosial wacana. Inti analisis Foucault mengarah ke
kontrol wacana. Hasil dalam penelitian ini menemukan bahwa ada upaya-upaya bagaimana wacana
pendidikan dibentuk dan dikontrol.
Kata Kunci:
Post-strukturalis, Wacana Pendidikan, Foucault. 3 Idiots.
Pendahuluan
Tidak banyak yang mengetahui kapan
istilah pendidikan mulai dikenal manusia. Namun yang pasti, proses pendidikan
telah menjadi bagian kehidupan manusia sejak masyarakat belum mengenal tulisan
(jaman prasejarah, pramodern). Pada masa itu, proses pendidikan berlangsung
secara alamiah, sederhana, tanpa disadari, serta dilakukan antargenerasi: dari
orang tua kepada anak-anak mereka (Haralambos & Holborn, 2004). Praktik dan
kritik terhadap sistem pendidikan pun telah lama menjadi bagian dari proses
berkembangnya pendidikan. Praktik maupun kritik tersebut tersaji dalam berbagai
media maupun karya. Tulisan ini akan menganalisis salah satu karya sastra dalam
bentuk film yang dengan apik dan cerdas mengkritik sistem pendidikan di negara
India. Film tersebut berjudul 3 Idiots, garapan Rajkumar Hirani.
Film 3 Idiots merupakan film yang diadaptasi dari novel Five Point Someone
karya Chetan Bhagat. Film
ini pertama kali ditayangkan di India pada Desember 2009 dengan tiga tokoh sentral yaitu Rancho, Farhan dan Raju. Mereka
adalah mahasiswa di Imperial College of Engineering (ICE), salah satu kampus paling
bergengsi di India yang memiliki iming-iming lulusannya mampu bersaing di perusahaan
ternama dunia. 3
Idiots merupakan film
yang unik dan berbeda karena berani mengusung tema yang cukup sensitif di India
yaitu sistem pendidikan.
Meski
disuguhkan dalam bentuk komedi dan drama, film bernada kritis ini seolah-olah
mengupas praktik nyata sistem pendidikan di India –dan sangat mungkin terjadi
juga di negara Indonesia– yakni sistem yang memicu mahasiswa hanya untuk
sekedar mendapatkan nilai
bagus-lulus-kerja-kaya tanpa mempedulikan potensi lain yang ada dalam
dirinya.
Melalui 3 Idiots, Rajkumar Hirani menegaskan kembali apa yang ditulis
Chetan Bhagat dalam novel Five Point
Someone tentang tidak adanya demokrasi dalam pendidikan di India. Tema
dan pembahasan ini cukup menarik dan relevan dengan problem pendidikan di
Indonesia. karena praktik dalam pendidikan di Indonesia sendiri saat ini masih
mencari bentuk atau metode yang paling tepat. Sejak merdeka, sistem pendidikan
di Indonesia sudah beberapa kali mengalami perubahan. Setiap pergantian
pemerintahan selalu disertai dengan pergantian kebijakan pendidikan, teurtama
kebijakan mengenai kurikulum dan standardisasi penilaian untuk siswa.
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori post-struktural
serta dikaitkan dengan teori dan metode analisis wacana
Michel Foucault. Post-strutural menekankan
keseluruhan relasi antara berbagai unsur teks, memandang kritik sastra harus
berpusat pada karya sastra itu sendiri, tanpa harus memperhatikan sastrawan
sebagai pencitra dan pembaca sebagai penikmat. Postrukturalisme
mengkaji makna tidak hanya terbatas pada kekuatan struktur, tetapi dapat
dikaitkan dengan sesuatu yang berada di luar struktur. Jaringan-jaringan makna
dalam teks juga bisa rumit yang memungkinkan pembaca berspekulasi tentang makna,
karena makna tidak tunggal melainkan bersifat plural, makna tidak tetap melainkan
terus berkembang. Dengan begitu, kritik
sastra tidak tergantung dari aspek eksternal karya sastra tersebut. Tugas
utama dari teori post-struktualis adalah memahami teks. Sebuah teks ditulis
bukan untuk pembaca tertentu, melainkan kepada siapapun yang bisa membacanya,
tidak terbatas pada ruang dan waktu.
Sejak pertengahan 1970-an, lembaga-lembaga
pendidikan konservatif mulai berbenah dan mengubah pola pendidikan mereka
menuju praktik pendidikan kritis dengan berlandaskan pada karya filosofis Michel
Foucault (Dussel, 2010). Foucault telah mengembangkan sebuah pemahaman mengenai
subjek pendidikan –siswa, guru dan sebagainya– dengan menggunakan istilah
subjektivitas sejarah dan investigasi genealogi yang memungkinkan para
teoretikus pendidikan dapat memahami dampak pendidikan pengajaran sebagai
sebuah disiplin dan praktik (Olssen, 1999; Peters and Basley, 2007). Pemikiran
Foucault berupaya menjembatani penjelasan teori klasik dan modern mengenai
praktik pendidikan (Olssen, 199); menyatukan masalah ideologi dengan masalah
praktis pendidikan; menjelaskan masalah pendidikan dengan institusional dan
individual (Marshall, 2007). Berdasarkan karyanya, Foucault dinilai telah
menaruh perhatian besar pada masalah pendidikan di masyarakat dengan mengaitkan
realitas sejarah untuk menjelaskan masalah perubahan praktik pendidikan di
masyarakat.
Foucault juga menjelaskan bahwa
sekolah dalam masyarakat modern telah mengotak-kotakkan pengetahuan dalam
beberapa kategori yang “saling terpisah”. Mereka memisahkan subjek, mata
pelajaran, jurusan atau program studi, yang kemudian berdampak pada masa depan
siswa (Martono, 2014). Sebelumnya sekolah dalam masyarakat modern juga telah
menerapkan sistem seleksi untuk memilih dan memilah individu mana yang layak
menikmati pendidikan di tempat mereka. Agar individu dapat menikmati fasilitas
pendidikan di sekolah tertentu, mereka harus memenuhi serangkaian kriteria yang
telah ditentukan sekolah. Singkatnya, mereka bukan belajar sesuai kehendak
melainkan sesuai kelayakan. Mekanisme seleksi masuk sekolah menjadi mekanisme
bekerjanya kekuasaan dalam pendidikan.
Inti analisis Foucault mengarah ke kontrol
wacana. Menurut Foucault, ada tiga prosedur dalam menganalisis tatanan wacana. Prosedur
pertama, sistem eksklusi eksternal. Dalam prosedur produksi wacana ini
terdapat pelarangan, pemilahan antara nalar dan kegilaan, serta gagasan
mengenai yang benar dan salah. Dalam pelarangan sendiri ada tiga jenis
larangan, yaitu larangan objektif, larangan kontekstual, dan larangan
subjektif. Prosedur kedua adalah prosedur-prosedur internal yang
mencakup komentar, pengarang, dan disiplin. Pengarang di sini mengacu pada
otoritas yang menentukan kebenaran. Pengarang dapat juga berarti asal muasal
wacana yang benar. Prosedur terakhir adalah kondisi aplikasi. Yang
termasuk dalam kelompok prosedur ini digunakan untuk menentukan syarat
penggunaan tatanan wacana, untuk memaksakan sejumlah aturan pada
individu-individu yang memegangnya, dengan demikian mampu mengizinkan setiap
orang untuk mempunyai akses pada wacana tersebut (Faruk, 2012: 247).
Bisa disimpulkan bahwa dalam kondisi
aplikasi inilah wacana dikontrol karena tidak semua wilayah wacana sama terbuka
dan dapat dimasuki. Di lain pihak, sebagian besar wilayah itu terlarang,
sedangkan yang lainnya terbuka untuk hampir semua orang, mengabaikan siapa
subjek yang berbicara, tanpa pembatasan lebih dahulu (Faruk, 2012: 248). Misalnya Wacana Pendidikan di Indonesia, anak
masuk SD dengan batas minimal umur 6-7 tahun, ada sistem UAN serta standar
minimal dan maksimal nilai yang secara otomatis standar tersebut akan
menyingkirkan siswa yang tak mampu secara akademik, puncaknya adalah, ada
lembaga yang memproduksi serta mengontrol berbagai wacana tersebut, seperti
misalnya Kemendikbud, sekolah-sekolah ataupun universias-universitas.
Dalam penelitian ini bentuk-bentuk
pembatasan dalam kondisi aplikasi meliputi; masyarakat wacana, doktrin, dan
apropriasi sosial wacana. Masyarakat
wacana berfungsi untuk menghasilkan wacana, tapi sekaligus untuk
membuatnya beredar hanya dalam sebuah ruang yang tertutup. Doktrin cenderung untuk disebarkan
dan hanya berpegang pada wacana yang sama. Sedangkan apropriasi sosial wacana merupakan penyisihan sosial terhadap
wacana, bersama-sama dengan pengetahuan dan kuasa-kuasa yang dibawanya, dimodifikasi
dan dipertahankan dengan cara politis oleh setiap sistem pendidikan.
Wacana pendidikan dalam 3
Idiots
Bahasa adalah bagian wacana (Garrity,
2010) yang merefleksikan perbedaan bentuk budaya,
kebiasaan, adat, dan
pengetahuan. Selanjutnya, wacana
digunakan untuk melegitimasi kekuasaan tertentu. Wacana menyediakan kondisi
materiil ketika individu diproduksi –baik sebagai subjek atau sebagai objek–.
Ini merupakan bentuk kekuasaan yang dilaksanakan melalui wacana hukum,
kedokteran, psikologi dan pendidikan (Codd, 1988). Wacana dipengaruhi
pengetahuan dan kekuasaan secara bersama-sama. Kekuasaan menentukan pengetahuan apa
saja yang dianggap
sebagai sebuah kebenaran,
kenormalan, sehingga ia
dapat menjadi wacana umum. Wacana
membantu menjelaskan
mekanisme distribusi kekuasaan,
sehingga dapat menjadi alat menyebarkan dan mewujudkan
kekuasaan (Martono, 2014).
Akmal
Jaya juga menjelaskan dalam tulisannya bahwa wacana tidak dibiarkan begitu
saja, tetapi ada yang berperan mengendalikan atau bahkan menguasainya.
Sehingga, wacana sering diasosiasikan dengan kekuasaan. Wacana memiliki
kekuatan untuk mengopresi dan melawan. Praktik untuk melanggengkan sebuah
wacana yaitu dengan regularitas. Regularitas
yang dimaksud di sini berupa larangan. Seperti yang pernah Foucault sebutkan
yaitu dalam prosedur produksi wacana adalah dengan eksklusi berupa larangan, yang
meliputi tiga macam eksklusi eksternal yaitu: larangan objektif, larangan
subjektif, dan larangan kontekstual (Faruk, 2012: 242).
Dalam film 3 Idiots, sistem pendidikan menjadi suatu wacana yang dikontrol
dengan doktrin dan kekuasaan serta dapat mempengaruhi banyak orang, lebih khususnya
mempengarhi pelajar dan orangtua pelajar. Mengambil setting di salah satu universitas teknik ternama di India, Rajkumar
Hiran menggambarkan sekaligus mengkritik pedas bagaimana sekolah-sekolah dan
universitas di India menjadikan dominasi dan kompetasi bagian dari proses
belajar. 3 Idiots merupakan salah
satu karya yang menjelaskan tentang matinya demokrasi dalam pendidikan di India
serta bagaimana wacana pendidikan menghegemoni pelajar.
Masyarakat Wacana
Sudah menjadi pemahaman umum bahwa nilai education hanya sekedar nilai, gelar dan
hasil. Seperti mayoritas masyarakat yang menganggap bahwa ‘sukses’ layak
disematkan bagi pelajar dengan nilai tinggi, mampu mengalahkan rekan yang juga
dalam hal ini bisa dikatakan saingan, puncaknya mampu diterima kerja di
perusahaan ternama dengan nilai terbaiknya selama menempuh pendidikan. Atau
pemahaman bahwa education hanya
sekedar nilai, gelar dan hasil. Di berbagai
belahan dunia, termasuk di Indonesia sendiri, muncul anggapan bahwa untuk
menjadi sukses, seseorang harus selalu mendapat nilai bagus dan menjadi yang
terbaik di sekolah. Dengan demikian, pekerjaan akan mudah didapat dan kekayaan
akan ada digenggaman. Dalam masyarakat wacana, ada wacana tertentu yang dihasilkan
dan beredar secara tertutup di kalangan orangtua yang memiliki anak seorang
pelajar atau mahasiswa. Pada kenyataannya, sebagian yang lain akan sadar bahwa wacana
dan presepsi tentang ‘sukses’ itu kurang tepat, dan hal itulah yang ingin
disampaikan oleh film 3 Idiots. Ketiga tokoh dalam film yang tercatat sebagai
mahasiswa di Imperial College of Engineering (ICE) sedikit banyak menyindir
salah satu universitas ternama di India yakni IIT (Indian Institutes of
Technology) yang 25% lulusannya bekerja di Amerika, terutama di perusahaan IT
terkemuka di dunia dan sisanya tersebar di belahan dunia lain, termasuk di
India sendiri.
Berikut
salah satu kutipan dalam film menggambarkan seorang ayah yang berambisi anaknya
menjadi insinyur karena masyarakat setempat sangat memempercayai bahka
kehidupan insinyur menjadi jaminan kebahagian dan kesuksesan dalam keluarga.
“Jika tidak menjadi insinyur, apa yang
akan kau dapatkan di dalam hutan, (saat kau menjadi fotografer alam liar)? Dan
saat kau melihat teman-temanmu sudah bisa membeli mobil dan rumah, saat itulah kau
akan mengutuk dirimu sendiri.” (3 Idiots; 2009).
Doktrin
Pada doktrin, cenderung untuk
disebarkan dan hanya berpegang pada wacana yang sama. Film 3 Idiots mengacu pada
nilai, norma, sistem pendidikan dan sosial masyarakat India. Dalam film ini, salah satu universitas ternama (ICE)
dijalankan dengan sangat ortodoks oleh Rektor. Berbagai doktrin
pendidikan pun lahir di kampus tersebut, misalnya doktrin “kompetisi dan
bersaing” ditanamkan sedemikian rupa sehingga mahasiswa hanya mengejar nilai
dan gelar. Sistem pendidikan hanya menguntungkan mereka yang benar-benar
kompetitif dan pintar, lalu melumat habis mereka yang sebenarnya cerdas, tapi
tidak ditangani dengan sistem yang baik. Di sisi lain, sistem yang hanya
mementingkan kompetisi akan membuat mahasiswa tidak pernah berpikir kreatif,
karena takut bahwa hasil karyanya tidak sesuai dengan yang diinginkan dosen,
institusi atau sistem itu sendiri.
Doktrin
selanjutnya yang menjadi bagian dalam sistem pendidikan adalah belajar taklid pada isi buku dengan cara menghafal.
Ketika seorang pengajar melontarkan sebuah pertanyaan kepada murid atau
mahasiswa misalnya tentang definisi sebuah istilah, murid dan mahasiswa hanya
akan kalut berlomba mencari jawaban paling benar dan paling cepat. Ibarat singa
sirkus yang bisa duduk di kursi, hanya karena takut dicambuk oleh pelatihnya, namun
sebenarnya kita hanya bisa menyebutnya singa tersebut terlatih, bukan terdidik.
Apa manfaat metode seperti ini, sekali pun siswa yang bisa menjawab cepat dan
tepat, tak ada pengetahuan baru yang meningkat, yang ada hanya tekanan. Belajar
dengan sistem hafalan ibarat burung Beo yang hanya bisa menirukan persis ucapan
orang tapi sama sekali tak paham apa yang diucapkan. Sayangnya nyaris semua
pendidikan di sekolah maupun universitas begitu adanya.
Berikut merupakan beberapa hal
terkait doktrin dan praktik-praktik sistem pendidikan yang digambarkan dalam
film 3 Idiots karya Rajkumar Hirani;
a.
Dominasi
Kekuasaan merupakan unsur dalam
pendidikan yang eksistensinya dapat bersifat nyata maupun tidak nyata, dapat
disadari maupun tidak disadari. Kekuasaan mewujudkan tujuannya dengan berbagai
cara. Bordieou menyebutkan bahwa kelas dominan menggunakan sekolah sebagai
tempat melanggengkan kekuasaan dan mempertahankan posisinya atau mendominasi
tatanan kekuasaannya. Dalam praktiknya, guru atau dosen juga dapat diposisikan
sebagai unsur kekuasaan
yang berhubungan secara langsung
dengan siswa karena mereka lah yang
memberikan penilaian secara langsung di sekolah maupun
universitas. Kekuasaan yang membentuk wacana dalam pendidikan memiliki efek
yang luas dan hebat, tak hanya bagi pelajar tapi juga bagi orangtua yang
membebani anak-anak mereka dengan ketakutan, tekanan dan desakan dalam
pendidikan
Dalam film 3 Idiots, kampus
ICE terdapat sosok diktator yang mengatur semua sistem dalam kampus. Viru
Sahastrabuddhe (para mahasiswa biasa menjulikinya Virus), adalah seorang rektor
yang menjalankan kampus bak perusahaan atau industri pendidikan. Di kampus,
mereka tidak membicarakan penemuan atau gagasan baru, mereka hanya berbicara
peringkat, peluang kerja, atau paling banter diterima kerja di Amerika Serikat.
Mereka hanya tertarik dengan bagaimana cara memperoleh nilai yang sempurna.
Para pengajar tak pernah mendidik mahasiswa untuk menjadi insinyur handal.
b. Kompetisi
Kekuasaan menetapkan sejumlah standarisasi penilaian di sekolah yang
digunakan sebagai alat untuk mengklasifikasikan siswa dalam berbagai kategori
menurut tingkat kecerdasannya (Liasidou, 2010).
Foucault tidak eksplisit menyebutkan siapa pihak
yang berkuasa dan siapa yang dikuasai. Pada intinya Foucault menyatakan bahwa
siapapun dapat memiliki kekuasaan karena kekuasaan bersifat “dapat dipindahkan”.
Kekuasaan juga dapat muncul dalam mekanisme pengawasan terhadap individu di
sekolah secara langsung maupun tersembunyi. Standarisasi dalam
pendidikan juga merupakan
wujud kekuasaan yang mampu
membedakan setiap individu
dalam beberapa kategori. Standarisasi ini dikolaborasikan dengan
sistem penilaian, sehingga
sekolah mampu membedakan
siswa dalam kategori
pintar-bodoh, jenius-idiot dan pengategorian lainnya. Lalu menjadikan kompetesi,
bagian dari proses pendidikan.
Film 3 Idiots garapan Rajkumar Hirani
merupakan salah satu karya yang melihat kekuasaan dijalankan dengan tujuan
untuk mengawetkan wacana kompetatif dalam pendidikan. Melalui Prof.
Viru yang merepresentasikan kekuasaan selalu memberi wejangan kepada mahasiswa
baru di tahun pertama mereka tentang pentingnya kompetisi dalam pendidikan.
“Burung Koel tidak pernah membuat
sarangnya sendiri. Mereka menaruh telur-telurnya di sarang burung lain, dan
saat anak mereka menetas, apa yang dilakukannya pertama kali? Ia menendang
telur-telur lain keluar dari sarang. Kompetesi berakhir! Hidup dimulai dengan
‘membunuh’. Itulah alam, bersaing atau mati. Kalian semua bagaikan burung Koel
dan mereka semua (Viru membuang tumpukan kertas pelamar-pelamar
universitas tersebut yang gagal saat mendaftar) adalah
telur-telur yang kalian singkirkan untuk diterima di ICE.” (3 Idiots; 2009).
Pada kenyataannya,
sistem yang hanya mementingkan kompetisi akan membuat mahasiswa tidak pernah
berpikir kreatif. Hal ini terjadi karena mereka takut hasil karyanya tidak
sesuai dengan yang diinginkan dosen atau institusi.
c.
Eksploitasi
Selain
itu, standar prestasi juga menjadi wacana lain dalam pendidikan India. Standar
norma di sekolah diwujudkan dalam “standar prestasi”. Menurut Martono,
kemampuan, kecerdasan, atau prestasi siswa akan- distandardisasi, yang kemudian
standardisasi ini menjadi bahan
perbandingan prestasi antarsiswa.
Satu lagi wacana pendidikan di India dan masih berlaku juga di negara-negara
lain –yang entah tujuannya apa– sehingga mengeksploitasi nilai dan kelulusan
mahasiswanya di papan pengumuman menjadi hal yang wajar. Kutipan dalam film
berikut, cukup menyentil.
“Semestinya hasil
ujian bukanlah sebuah pengumuman. Mengapa kita memperlihatkan kelemahan orang
di muka umum? Jika hemoglobin di darah kita ternyata rendah, apa yang dilakukan
dokter, memberimu obat atau mengumumkannya di TV?” (3 Idiots, 2009).
Selain
doktrin kompetisi, dengan kekuasaan dan statusnya sebagai yang tertinggi dalam
tatanan universitas tersebut, Viru juga mendoktrin mahasiswanya untuk selalu
menjadi yang pertama.
“Neil Armstrong
adalah orang pertama yang menginjakkan kaki di bulan. Tapi siapakah yang kedua?
Jangan sia-siakan waktumu untuk mencari tahu jawabannya, karena itu tidak
penting! Tak akan ada orang yang mencoba mengingat ‘Orang Kedua’!” (3 Idiots; 2009).
Apropiasi
Sosial Wacana
Apropriasi sosial wacana mengacu pada setiap
sistem pendidikan yang menyisihkan wacana secara sosial, bersama-sama dengan
pengetahuan dan kuasa-kuasa yang dibawanya, dimodifikasi, dan dipertahankan
dengan cara politis. Di India maupun di Indonesia sendiri sistem pendidikan
memiliki banyak lapisan yang ke semuanya merupakan apropriasi sosial wacana. Menurut
Foucault (1975), sebagaimana yang dikutip oleh Martono (2014: 86) Foucault
mendefinisikan pendisiplinan sebagai sebuah mekanisme pembentukan perilaku
individu yang taat dan patuh pada serangkaian norma melalui sistem kontrol atau
pengawasan terhadap individu.
Dengan kata lain, pendisiplinan merupakan
suatu bentuk mekanisme kekuasaan pada masyarakat modern untuk membentuk
individu yang terampil dan berguna. Dalam mendefinisikan tentang disiplin,
perlu dibedakan antara kedisiplinan dan norma yang mengatur masyarakat. Jika
norma dibentuk sesuai kesepakatan masyarakat untuk memperbandingkan antara satu
individu dengan individu lainnya, maka disiplin berfungsi untuk mengendalikan
dan mengatur individu agar bertindak sesuai dengan norma pada masyarakat.
Agar
norma dan disiplin dapat berfungsi dalam kehidupan masyarakat, Foucault
merumuskan tiga bentuk mekanisme pendisiplinan pada masyarakat yang meliputi:
pengawasan secara hierarkis, standardisasi nilai, dan sistem ujian atau
evaluasi. Ketiga bentuk mekanisme pendisiplinan ini yang juga diterapkan pada
sekolah. Foucault mendefinisikan mekanisme pendisiplinan di sekolah sebagai
seperangkat wacana, norma, dan rutinitas yang membentuk cara ketika bidang-bidang
yang terkait dalam sekolah (maupun universitas) menjadi mekanisme yang mengatur
sistem kerja diri mereka sendiri (Martono, 2014: 107). Bentuk pengawasan secara
hierarkis terlihat dari bentuk bangunan sekolah yang dibuat seperti penjara
dengan menempatkan lapangan di tengah bangunan sekolah. Bentuk bangunan sekolah
inilah yang dikenal sebagai istilah panopticon.
Hal ini bertujuan untuk mempermudah pengawasan siswa selama mengikuti proses
pembelajaran di sekolah.
Selain itu, struktur organisasi sekolah
yang disusun secara hierarkis menunjukkan adanya bentuk pengawasan dalam
mekanisme pendisiplinan di sekolah. Mekanisme standardisasi nilai di sekolah
diwujudkan dalam seperangkat tata tertib yang dibuat sekolah. Sementara itu,
sistem ujian di sekolah dapat merepresentasikan praktik pengawasan sekaligus
juga sebagai standar nilai bagi siswa selama bersekolah. Siswa dihadapkan pada
situasi ujian yang menegangkan. Pengawasan dilakukan selama proses ujian
berlangsung untuk menciptakan suasana disiplin di kelas. Siswa yang berhasil
dalam ujian akan mendapatkan ganjaran yang sudah ditetapkan sebelumnya.
Sebaliknya, siswa yang gagal dalam ujian akan mendapatkan hukuman yang sesuai
dengan tingkat kegagalan tersebut.
Dalam film 3 Idiots digambarkan pula bagaimana
mahasiswa-mahasiswa semester akhir yang telah melaksanakan wawancara kerja di
berbagai perusahaan, masih sangat tergantung
dengan nilai dan hasil kelulusan universitas. Pasalnya, mahasiswa yang sudah
diterima di sebuah perusahaan dengan posisi terbaik sekalipun tidak akan bisa
melanjutkan kehidupan dan karirnya sebelum dinyatakan lulus di tahap akhir
ujian. Jika ada pihak dominan yang
menggunakan kesempatan tersebut untuk memainkan peran kuasanya, maka akan banyak
pelajar yang menjadi korban dari tatanan pendidikan seperti ini. Seperti dalam
cuplikan film berikut.
Viru berkata pada salah satu
mahasiswa yang sebelumnya telah berkali-kali membuat ulah dan masalah dengan
dirinya… “Pekerjaan itu tak akan menjadi milikmu, sampai kau melewati ujian
akhir. Dan sekarang aku sendiri yang akan menyiapkan (soal) ujianmu.” (3
Idiots; 2009)
Kesimpulan
Pendidikan, sejak lama telah menjadi bagian kehidupan masyarakat. Praktik
dan kritik terhadap sistem pendidikan pun telah lama menjadi bagian dari proses
berkembangnya pendidikan. Praktik maupun kritik tersebut tersaji dalam berbagai
media maupun karya, salah satunya pada film India berjudul
3 Idiots karya Rajkumar Hirani yang
mengangkat tema tengang matinya demokrasi dalam sistem pendidikan. Hirani
menegaskan kembali tentang tidak adanya demokrasi dalam pendidikan di
India, yang sbenarnya juga relevan dengan keadaan pendidikan di beberapa negara
termasuk Indonesia. Penelitian ini mengaplikasikan teori dan prosedur analisis
tatanan wacana Foucault yang berupa kondisi aplikasi, yang mencakup; masyarakat wacana, doktrin, dan apropriasi sosial
wacana. Inti analisis Foucault mengarah ke kontrol wacana.
Hasil penelitian
ini menemukan bahwa ada upaya-upaya bagaimana wacana pendidikan dibentuk dan
dikontrol. Beberapa hal terkait doktrin dan praktik-praktik sistem pendidikan
yang dapat diungkapkan melalui bentuk-bentuk pembatasannya yang berupa
masyarakat wacana, doktrin, dan apropriasi sosial wacanad. Doktrin yang
digambarkan dalam film adalah; dominasi, kompetisi dan eksploitasi.
Daftar Pustaka
Faruk. 2012. Metode Penelitian Sastra: Sebuah Penjelajahan Awal. Pustaka
Pelajar: Yogyakarta.
Hirani, Rajkumar.
3 Idiots.
2009.
India: Vinod Chopra
Production.
Jaya, Akmal. 2016.
Produksi, Distribusi, dan Kontestasi Wacana Tradisi dan Modernitas dalam Cerpen
Leteh Karya Oki Rusmini. Jurnal Poetika Vol. IV No. 2, p.107-118.
Kutha Ratna, Nyoman. 2012. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra dari Strukturalisme
hingga Postrukturalisme; Perspektif Wacana Naratif. Pustaka Pelajar:
Yogyakarta.
Martono Nanang, 2014. Sosiologi Pendidikan Michel Foucault: Pengetahuan, Kekuasaan, Disiplin,
Hukuman dan Seksualitas. Rajawali Press; Jakarta.
Martono Nanang, 2014. Dominasi Kekuasaan Dalam Pendidikan: Tesis Bourdieu dan Foucault
tentang Pendidikan. Jurnal Interaksi. Vol.8 (1), p.28-39.
Muslim Nuzul. 2014. Representasi Makna Persahabatan Dalam Film 3 Idiots (Analisis Semiotika
Roland Barthes Mengenai Representasi Makna Persahabatan dalam Film 3 Idiots). Skripsi.
Program Studi Ilmu Komunikasi Konsentrasi Humas. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik, Universitas Komputer Indonesia.
Pustaka
Laman